JAKARTA (voa-islam.com) - Dari Nusa Dua, Bali, begitu kerasnya suara Megawati, saat dia mengatakan tentang ‘petugas partai’. Sebagai ‘PETUGAS’ dituntut ketaatan, ketundukan, kepatuhan, loyalitas secara total, tanpa reserve.
Seorang ‘PETUGAS’ tidak boleh ambigu (mendua) sikapnya. Seorang PETUGAS’ apapun yang dikatakan oleh sang ‘BOS’ harus dipatuhi dan dijalankan. Tidak boleh mengatakan ‘TIDAK’.
Lalu siapa yang menjadi ‘BOS’? Apakah pemimpin partai? Secara kolektif atau individu? Nampaknya, dalam kontek pernyataan Megawati tentang PETUGAS PARTAI itu, yang memiliki wewenang hanyalah Megawati. Tidak ada yang lain.
Partai hanyalah sebagai sarana alat politik dan ideologi. Jokowi sebagai presiden harus taat, tunduk, patuh, loyal, tanpa reserve dalam menjalankan keputusan dan kebijakan pemimpin partai.
Secara eksplisit Mega menyebut RRC. Di mana semua instrumen negara, termasuk presiden, perdana menteri, menteri, dan lembaga perwakilan, semua dikontrol oleh “POLIT BIRO” partai. Tidak boleh bertentangan dengan kebijakan dan keputusan polit biro.
Mega yang menjadi Ketua Umum PDIP, kenyataannya mirip sebagai ketua polit biro, dan memiliki kekuasaan dan kewenangan yang bersifat mutlak. Dia menuntut ketaatan dan loyalitas total kepada semua kader, termasuk Jokowi. Tidak boleh ada unsur-unsur yang berani menentang Mega. Secara tegas pula Mega mengatakan yang tidak suka menjadi ‘PETUGAS PARTAI’ keluar!
Sekarang terjadi perdebatan yang sangat hangat di masyarakat. Apakah Jokowi, termasuk para menteri, anggota legislatif itu ‘PETUGAS PARTAI’, atau orang-orang yang mendapatkan amanah rakyat, dan menjalankan amanah rakyat? Inilah yang menjadi persoalan mendasar.
Karena Jokowi tidak dipilih semata oleh kader dan pendukung PDIP, tapi dipilih oleh rakyat. Kepada siapa Jokowi harus mengabdi kepada rakyat atau kepada Mega dan PDIP?
Hasto Kristiiyanto membela Mega, dan sebutan ‘PETUGAS PARTAI’ itu, maksudnya Jokowi menjalankan ideologi partai. Sekarang ideologi PDIP itu apa? Nasionalis, komunis, sosialis atau kapitalis? Ini harus ‘clear’ lebih dahulu.
Jika ideologi PDIP adalah nasionalis, lalu mengapa kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi sekarang ini sangat liberal dan kapilistik? Tidak populis. Tidak merakyat. Di mana pembelaan terhadap rakyat jelata?
Dibagian lain, Ikrar Nusa Bakti menyoroti pernyataan Ketua Umum DPP PDIP Megawati yang kerap menyebut 'petugas partai', dan kalimat itu kerap dikaitkan dengan Presiden Jokowi.
"Megawati itu jangan terus-terusan bilang soal petugas partai, petugas partailah. Jangan juga dia bilang Presiden terpilih karena partai pengusung," ujar Ikrar dalam acara diskusi di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat pada Kamis (16/4/2015).
"Sebab kalau kalimat itu diulang-ulang terus, seolah-olah dia menagih sesuatu ke petugas partai yang dimaksud. Mirip sistem ijon kalau di pertanian," lanjut Ikrar.
Ikrar menyebut kalimat tersebut mengganggu kepresidensialan Jokowi. Kalimat itu jugalah, sebut Ikrar, yang membuat publik selalu berpendapat bahwa Jokowi, meski menjadi presiden, tetap tunduk kepada kepentingan partai politik pengusungnya.
"Ingat, kepentingan partai politik tidak selalu sama dengan pemerintah. Akuntabilitas parpol itu hanya ke konstituen. Sementara, akuntabilitas pemerintah itu sudah pasti ke seluruh masyarakat Indonesia," ujar Ikrar. Pernyataan yang dimaksud yakni ketika Mega melayangkan pidato penutup Kongres PDI-P, Sabtu (11/4/2015).
Mega menuntut seluruh kader PDI-P yang ada di unsur eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sejalan dengan garis perjuangan partai. Instruksi Mega itu diberikan tanpa bisa ditawar.
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" ujar Megawati.
Aria Bima, menilai, pidato Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengenai petugas partai adalah hal yang biasa. Menurut Aria, petugas partai sesungguhnya memiliki sebuah makna yang sangat baik, yakni menjalankan ideologi partai.
"Petugas partai bukan jongos, bukan pesuruh, jangan dipelesetkan. Jongos ideologi enggak masalah, tetapi bukan jongos ketua umum," kata Aria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2015).
"Petugas partai ini aparatus (alat) ideologis. Saya ini 10 tahun petugas partai," ujar katanya.
Terkait pidato mengenai "penumpang gelap", kata dia, Megawati sedang menyinggung mengenai orang-orang yang tidak paham Nawa Cita, tetapi mencoba untuk masuk ke kekuasaan. Namun, dia enggan menyebutkan secara spesifik siapa
Dibagian lain, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta semua kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai. Instruksi itu diberikan Megawati tanpa bisa ditawar.
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali, Sabtu (11/4/2015).
Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di eksekutif dan legislatif memiliki kewajiban untuk menjalankan instruksi partai.
Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian, Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan rakyat.
Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang menjadi sumber dan tujuan kerja ideologi. "Wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai, ya begitu," ujarnya.
Namun, sekarang ini sebagaimana kita ketahui kehidupan rakyat semakin sengsara. Lalu ideologi apa yang dijalankan oleh Jokowi selaku mandataris 'Mega dan PDIP' dalam melaksanakan tugas dan ideologi partai?
Sementara itu, Jokowi telah bagi-bagi jabatan kepada kader PDIP dan para relawan di berbagai BUMN. Mereka menikmati kehidupan materi, sementara rakyat tetap jembel.
Inilah yang menjadi persoalan pokok. Adakah berbagai penderitaan yang terjadi di dalam kehidupan ini, akibat Jokowi tidak menjalankan ideologi partai? Wallahu'alam. mashadi/dtta.