JAKARTA (voa-islam.com) - Tak ada yang patut dibanggakan. Tak ada yang perlu diperingati. Karena perjuangan reformasi hanya melahirkan sympton (penyakit) baru. Berulang lagi kejahatan baru yang pernah dikutuk dan dimusuhi. Kejahatan lama bermetamorpose dengan wajah baru yang lebih jahat.
Ingat. Para orator jalanan yang dulu berteriak dengan lantang saat ini sudah berpindah kedalam gedung yang dulu mereka duduki. Mereka lupa dengan idealisme yang pernah mereka perjuangkan.
Mereka hanya menjadi bagian dari oligarki partai dan kekuasaan. Mulut mereka sudah terkunci. Rapat. Selera dan naluri kekuasaan mereka lebih dominan. Tak lagi ingat yang pernah mereka perjuangkan yaitu : RAKYAT.
Mereka berhasil menggusur rezim otoritarian yang sangat berkuasa, selama lebih dari tiga dekade. Rezim militer yang mendapat dukungan kekuatan politik, dan berhasil mereka lengserkan. Tapi, kini mereka menjadi bagian dari rezim yang sangat manipulatif, dan lebih buruk dari rezim Soeharto, yaitu Jokowi.
Reformasi mula-mula menjadi harapan baru dengan sistem demokrasinya yang melibatkan rakyat dalam kebijakkan penentuan kepala pemerintahan baik tingkat kota sampai tingkat Negara. Namun, demokrasi dibawaha rezim sipil, tidak mampu membuka lembaran baru bagi kesejahteraan rakyat indonesia?
Justru sesudah berganti lima presiden, mulai dari Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY, dan Jokowi, kehidupan rakyat tidak beranjak ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, kehidupan rakyat semakin nista, dan jatuh ke jurang kenestapaan. Seperti tak lagi harapan.
Rakyat hanya disuguhi janji-janji oleh Jokowi. Setiap hari rakyat hanya dibuai dengan janji, tapi rakyat setiap hari hidup dengan kesengsaraan dan kepedihan.
Mereka yang dulu berteriak lantang, dan berani berhadapan dengan moncong senjata di jalan-jalan, sepanjang jalan Diponegoro, Salemba, Medan Merdeka Selatan, Medan Merdeka Utara, Thamrin, Sudirman, bahkan di Depan Kampus Tri Sakti, tak peduli dengan kematian, sekarang mereka sudah luruh, dan berkhianat dengan rakyat. Mereka seolah lupa dengan apa yang mereka teriakkan 17 tahun lalu.
Sebagian duduk dikursi nyaman dan mobil mewah menjadikan mereka tak lebih dari sekedar preman-preman berdasi yang engan turun berpeluh keringat bersama masyarakat seperti 17 tahun lalu. Inikah buah aksi 17 tahun lalu?
Demokrasi yang menjadi tujuan hanya membuka pintu kebebasan berekspresi politik secara formalitas, bukan secara substansial. Mereka hanya menjadi kaki tangan para oligarki yang sekarang menguasai republik ini.
Sejatinya, mahasiswa sebagai aktor jalanan memang mempunyai peran cukup signifikan dalam mengiring opini public dengan aksi masanya. Menjadi cadangan kekuatan masa depan, kontrol sosial dan agen perubahan menjadi fungsi mahasiswa seutuhnya.
Tapi, justru di era reformasi dan kebebasan mereka menjadi mandul, dan lebih suka dengan kehidupan yang hedonis, dan masuk zone komfort (nikmat), dan terus mereka nikmati.
Perjuangan mengakhiri rezim orde baru merupakkan perjuangan panjang, dan berakhir dengan momentum aksi reformasi 1998. Sebuah momentum merupakan perjalanan panjang yang akan mencapai tujuannya pada masa akan datang inilah yang dinamakan perjuangan.
Munculnya sejumlah tokoh muda angkatan 1998, harapannya mampu membawa perubahan, ketika mereka duduk menjadi wakil rakyat di DPR. Sayangnya situasi seolah tidak jauh berbeda dengan yang lalu, dan hanya kemasan demokrasi saja yang beda. Sebaliknya, saat ini wajah politik yang Indonesia lebih buruk dan kacau.
Hal ini tentunya menjadi sangat memprihatinkan melihat wajah Indonesia yang diperjuangkan beberapa tahun lalu tidak membuka ruang kesejahteraan, namun hanya sekedar membuka sebuah sistem yang dulunya tertutup saat ini menjadi terbuka.
Segalanya berakhir dengan diundangnya para presiden BEM di Istana oleh Jokowi. Tak ada lagi suara mahasiswa yang menyuarakan kepentingan rakyat. Tak ada lagi perjuangan bagi keadilan rakyat.
Kekuasaan dan kaum oligarki lewat tangan-tangan kekuasaan, akhirnya berhasil membonsai idealisme mahasiwa. Mereka sudah menyerah dengan kekuasaan. Memilih jalan kompromi. Maka rakyat tak perlu lagi berhadap kepada perjuangan mahasiswa. Rakyat harus bangkit menghadapi musuh mereka, yaiu kekuasaan oligarki.
Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa 17 tahun lalu, hanya melahirkan sebuah tragedi bagi rakyat dan bangsa.
Di mana sekarang Republik ini, secara diam-diam (silent) beralih tangan, ke tangan Asing dan A Seng. Rakyat hanya menjadi kuli dan budak Asing dan A Seng. Mereka yang menikmati kekuasaan, dan berada di samping Jokowi dan JK. Wallahu'alam