JAKARTA (voa-islam.com) - Di mulai dari Mesir dengan dikudetanya Presiden Mohamad Mursi dari kekuasaannya oleh junta militer yang dipimpin oleh Marsekal Abdul Fatah al-Sisi, 2013.
Kudeta terhadap Mohamad Mursi melibatkan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel dan AS. Pelakunya al-Sisi, Kepala Intelijen Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan, Kepala Intelijen Uni Emirat Arab, Kepala Intelijen PLO Mohamad Dahlan, dan dikendalikan oleh kerjasama antara Mossad dan CIA.
‘Arab Spring’ (Musim Semi Arab) berdampak terjadinya ‘powership’ (pergantian kekuasaan) di sejumlah Negara Arab. Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan konflik di Suriah, Jordania, dan sejumlah negara lainnya.
Perubahan di Dunia Arab melalui ‘Arab Spring’ itu, nampak kalangan Islamis berhasil mengambil manfaat yang memunculkan kekuatan baru, yang selama beberapa berada dalam penindasan rezim-rezim Arab yang menjadi kroni dan sekutu Israel dan Barat (AS).
Misalnya, di Mesir yang secara geopolitik dengan penduduknya berjumlah 80 juta, sebagai ‘episentrum’ (pusat syaraf) Dunia Arab. Jatuhnya diktator Mesir Marsekal Hosni Mubarak yang berkuasa selama tiga dekade, lahir kekuatan baru dari kalangan Islamis, yaitu Jamaah Ikhwan.
Ikhwan memiliki akar sejarah panjang. Gerakan dakwah yang dibangun dan didirikan oleh Hasan al-Banna, berdiri sejak tahun l928, relative memiliki pengaruh luas dikalangan rakyat Mesir dan Dunia Arab. Sangat logis, ketika berlangsung pemilu Ikhwan yang menjadi pemenangnya.
Melalui gerakan dakwah yang dibangun Ikhwan itu, rakyat Mesir merasakan hasilnya bagi kehidupan mereka. Di segala lapangan kehidupan.
Pemilu legislative dan Presiden Mesir dimenangkan kalangan Islamis, yaitu Ikhwan dan Salafi. Partai-partai sekuler hanyalah menjadi partai gurem. Tak memiliki akar di kalangan rakyat. Pemilu legislative di Mesir itu, melahirkan konfigurasi politik baru di parlemen Mesir.
Kekuatan Islamis yang berada di parlemen, kemudian menyusun konstitusi baru Mesir, dan melakukan perubahan yang mendasar bagi kehidupan bangsa Mesir. Tentu, yang paling monumental dan bersejarah, konstitusi baru itu, secara eksplisit termaktub dalam diktum (pasal) yang menyebutkan : Syariah Islam menjadi sumber hukum tertinggi konstitusi Mesir.
Konstitusi baru Mesir disyahkan melalui referendum, dan mendapatkan dukungan 75 persen rakyat Mesir. Artinya, secara mayoritas rakyat Mesir mendukung konstitusi baru, yang merupakan produk dari kalangan Islamis, yaitu Ikhwan dan Salafi. Ini sebuah fakta sejarah.
Dengan bekal konstitusi baru, Presiden Mohamad Mursi menjalankan pemeritahannya. Morsi dengan tim kabinetnya, sebenarnya lebih fokus pada perbaikan ekonomi dan sosial rakyat Mesir, yang hancur selama pemerintahan Mubarak.
Sekalipun, Mursi menghadapi sebuah lingkungan yang sangat kacau dan tidak stabil, pasca ‘Arab Spring’. Seperti Suriah, Irak, Palestina, serta sejumlah negara Arab lainnya.
Nampaknya kemenangan kalangan Islamis di Mesir itu, tidak berlangsung lama. Di tengah Mohamad Mursi melakukan konsolidasi pemerintahannya, terus dihadapkan aksi-aksi dari kalangan sekuler, liberal, nasionalis, dan koptik yang menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan yang sangat ‘fear’ (takut) dengan kalangan Islamis.
Ujungnya Presiden Mohamad Mursi, diekskusi dengan kudeta militer, dan dengan prolog aksi-aksi demonstrasi di depan Istana.
Presiden Mursi digulingkan dan dipenarakan. Aksi-aksi yang menolak kudeta ditumpas dengan senjata. Ribuan pendukung Mursi tewas di Rabi’ah al-Adawiyah dan al-Fath. Termasuk lebih 40.000 anggota dan tokoh Ikhwan yang dipenjara bersama dengan Mursi, dan sebagian besar mereka telah dijatuhi hukuman mati, termasuk Mursi.
Mesir yang menjadid ‘episentrum’ (pusat syaraf) bagi Dunia Arab, kekuasaan Islamis harus dihancurkan dengan segala cara. Termasuk dengan menggunakan senjata. Tidak satupun negara-negara Barat, yang mengecam kudeta di Mesir, kecuali Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan.
Mursi yang dipandang sebagai ancaman bagi kepentingan Israel, AS, Eropa, di Dunia Arab, berhasil di selesaikannya dengan tindakan kudeta militer, 2013. ‘Episentrum’ Dunia Arab yang sudah jatuh ke tangan Islamis itu, tamat di tangan Al-Sisi yang menjadi ‘proxy’ (tangan) Israel dan AS.
Sekarang Erdogan, tinggal satu-satunya kekuatan politik bagi kalangan Islamis, dihancurkan lewat pemilu 7 Juni lalu. AKP gagal mencapai mayoritas tungngal di parlemen. Ini berarti Erdogan kehilangan legitimasi politik.
AKP dan Erdogan hanya dalam waktu satu dekade berhasil mengubah seluruh kehidupan rakyat Turki. Stabil dan lebih makmur rakyatnya. Turki menjadi kekuatan nomor empat ekonominya diantara negara Uni Eropa. Selama satu dekade Turki mengalami kemajuan di berbagai sektor kehidupan.
Tentu, paling menarik ketika Erdogan dan AKP berkuasa, peranannya dan perhatiannya terhadap Dunia Islam, khususnya Palestina. Pemilu parlemen 7 Juni, seperti menjadi ekskutor bagi kekuasaan AKP dan Erdogan. AKP dan Erdogan akan berakhir di Turki?
Seorang pengamat politik di Turki, mengatakan pemilu parlemen Turki dengan kekalahan AKP, lebih dahsyat dibandingkan dengan jatuhnya ‘bom nuklir’, tegasnya.
Karena, implikasinya Turki akan kembali ke zaman gelap. Di mana pemerintahan ditentukan berdasarkan koalisi partai-partai politik yang ada, dan tidak pernah stabil, ujungnya kudeta militer. Selama Erdogan dan AKP berkuasa, berhasil dikembalikan kedudukan militer sebagai penjaga keamanan negara dari ancaman luar.
Erdogan dan AKP sudah menjadi ancaman yang sangat menakutkan bagi kalangan Kemalis, sekuler dan kiri. Dengan menggunakan sayap kiri (komunnis) Partai HDP yang pro-Kurdi, AKP dan Erdogan dihancurkan.
HDP menyatakan perang total terhadap AKP dan Erdogan. HDP menolak ide-ide Islamis yang dianggap akan menciptakan kediktatoran baru, dan membungkam kebebasan.
HDP dengan berkedok platform ‘liberalisme’, yang sejatinya bukan platform kalangan kiri, berhasil menyeret rakyat Turki menjadi pendukungnya. Dengan suara 13 persen di parlemen, sudah cukup memporak-porandakan cita-cita AKP dan Erdogan yang membangun kejayaan Turki yang Islami.
AKP dan Erdogan yang berhasil meciptakan Turki stabil, maju, modern, dan memiliki cita-cita ingin mengembalikan kepada kejayaan masa lalu, yaitu Khilafah Ottoman, segera diakhiri dan diekskusi. Melalui kekuatan lokal, kekuatan sekuler, liberal, kiri dan komunis, AKP dan Erdogan berakhir?. Disini tergambar dengan sangat jelas peranan HDP.
Kehancuran AKP dan Erdogan yang paling diuntungkan hanyalah Zionis-Israel. HDP hanyalah ‘proxy’ dari kepentingan Zionis-Israel, yang sudah memendam kebencian dan permusuhan terhadap AKP dan Erdogan. Turki yang secara geopolitik sangat strategis berpenduduk 76 juta, dan posisinya di zona Euro-Asia, sangat strategis bagi siapapun.
Sekarang skenario paling buruk, membuat Turki tidak stabil, kacau dan penuh dengan konflik. Situasi itu sudah dibuat oleh HDP, seperti aksi demonstrasi di lapangan Gazi, Istambul. Mereka menolak Erdogan dan AKP dengan isu kebebasan. Erdogan dan AKP digambarkan sebagai musuh yang diktator, dan tidak toleran.
Zionis-Israel berhasil memukul dua ‘episentrum’ (pusat syaraf) Dunia Islam, yaitu Mesir dan Turki, yang sudah berada di tangan Islamis. Apakah semua ini akan mengakhiri perjuangan kaum Islamis yang bercita-cita membangun peradaban Islam bagi masa depan mereka? Belum tentu.
AS dan Eropa sudah mengalami ‘decline’ (penurunan) kemampuan mereka. Kemenangan sayap kanan di Israel, Partai Likud, yang dipimpin Benyamin Netanyahu, tidak semakin kuatnya Zionis-Israel. Israel semakin terisolir. Saatnya akan menghadapi kehancuran dengan kekuatan rakyat Palestina.
Eropa dan AS, juga semakin melemah kemampuannya mengendalikan kekuatan-kekuatan baru dari kalangan Islamis, yang sudah menyebar secara global. Dalam waktu tertentu mereka bisa menghancurkan dan memporak-porandakan kekuatan kaum Islamis, tapi tidak selamanya. Hasbunallah wa ni’mal wakil. Wallahu’alam.