MOSKOW (voa-islam.com) – Arab Saudi terjepit antara Amerika dan Rusia. Dua negara raksasa itu, tetap menjadikan Bashar al-Assad sebagai kartu 'troop' terhadap Arab Saudi dan negara-negara Teluk.
Bashar al-Assad menjadi alat 'blackmail' (pemerasan) oleh Rusia dan Amerika terhadap negara-negara Arab. Kedua negara adikuasa itu, berusaha mempertahankan Bashar, agar tidak jatuh.
Ini hakekat konflik di Suriah, antara rezim Bashar al-Assad dengan para pejuang Islam, yang ingin mengakhiri rezim Syiah Alawiyyin, yang sangat biadab, dan telah membunuh ratusan ribu rakyat dengan menggunakan senjata, termasuk senjata pemusnah massal. Rusia dan Amerika tidak mau Bashar al-Assad jatuh, tanpa ada jaminan dari Arab Saudi, tentang kepentingan di Suriah.
Suriah menjadi sekutu Rusia (Uni Soviet) sejak era perang dingin, dan ketika era perang dingin, dan lahir gerakan 'Arab Spring' (musim semi Arab), maka Rusia ingin tetap mendapatkan jaminan kepentingannya tidak sirna dari Suriah. Sejatinya dengan tetap menggenggam Suriah, Rusia berarti tetap dapat mengontrol negara-neara Arab Teluk yang kaya minyak.
Sementara itu, Amerika tidak ingin Bashar al-Assad jatuh, tanpa ada jaminan siapa yang akan menggantikan Assad. Jika Suriah jatuh ke tangan ISIS atau kelompok pejuagn Islam, maka ini beraeti akan merubah seluruh peta politik di Timur Tengah, termasuk keamanan negara Zionis-Israrel. Sedangkan Amerika memilliki komitmen yang tidak terbatas terhadap keamanan Zionnis itu.
Maka Amerika tidak akan pernah mentoleri akan lahirnya kekuatan baru yang disebut sebagai kekuatan 'Islam ektrim', semacam ISIS. Kemenangan ISIS di medang perang di Suriah, sasma dengan mimpi buruk yang tidak dapat diprediksikan dampaknya bagi seluruh kawasan Timur Tengah, dan keamanan Zionis.
Selama belum ada kepastian siapa yagn akan menggantikan Bashar al-Assad, maka baik Rusia dan Amerika tidak akan membiarkan Assad jatuh dari kekuasaan. Apalagi dikalahkan oleh ISIS atau kelompok-kelompok pejuang Islam.
Amerika, Rusia, Turki, dan Arab Saudi terus bermain di Suriah, masing-masing menegosiasikan kepentingan mereka. Namun, mereka masing-masing memiliki kepentingan yang sama, yaitu tidak ingin ISIS yang akhirnya menjadi pemenang dalam perang di Suriah.
ISIS sudah menjadi ancaman kepentingan dan keamanan bagi Rusia, Amerika, Turki dan Arab Saudi. Karena itu, mereka tidak mau berkompromi dan memberikan ruang bagi lahirnya kekuatan baru di Suriah.
Amerika, Turki, dan Arab Saudi, membuat skenario baru dengan membantuk kekuatan pasukan yang dianggap bisa menjadi kekuatan baru yang akan menggantikan Bashar al-Assad, tapi tetap ramah terhadap Amerika, Turki dan Arab Saudi. Tidak menjadi ancaman yang membahayakan integritas negara mereka. ISIS benar-benar menjadi ancaman dan mimpi buruk bagi mereka. Inilah leatak persoalannya.
Jika Arab Saudi menginginkan agar Bashar al-Assad tidak lagi diberi tempat di Suriah, maka sesungguhnya Arab Saudi akan bertabrakan dengan kepentingan Rusia dan Amerika. Kepentingan Rusia dan Amerika sama, meniadakan faktor ancaman terhadap Bashar al-Assad, terutama dari kelompok mililtan, dianrtaranya seperti ISIS.
Tidak aneh perundingan antara Menlu Rusia Lavrov dengan Menlu Arab Saudi Zubair gagal dalam pembicaraan pada hari Selasa (11/8/2015). Mereka tidak dapat bertemu dalam soal kedudukan Bashar al-Assad. Rusia ingin tetap mempertahankan Assad, sampai titik darah yang penghabisan. Sekalipun Menteri Pertahanan Arab Saudi Pengeran Mohamad bin Salman telah bertemud dengan Presiden Vladimir Putih, tapi Rusia tidak akan melepmaskan Bashar. Wallahu'alam.