JAKARTA (voa-islam.com) – Di zaman Jokowi rakyat bertambah mlarat. Rakyat bertambah susah. Segalanya menjadi sulit. Bukan menjadi mudah. Termasuk mempertahankan hidup sekarang sangat sulit. Potret kehidupan rakyat miskin, nampak di mana-mana, dan sangat menyedihkan.
Angka-angka kemiskinan terus merangkak. Bukan turun. Rakyat miskin seperti deret ukur. Begitu kondisi bangsa ini.
Menurut BPS Jumlah penduduk miskin tahun 2015 mencapai 30,25 juta orang atau sekitar 12,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, jika mau jujur jumlah rakyat miskin, bisa separuh penduduk Indonesia. Belum lagi, mereka yang tergolong miskin 'absolut'.
Naiknya jumlah penduduk miskin akibat kebijakan pemerintah, termasuk diantaranya kenaikan harga BBM, inflasi, dan pelemahan dolar.
Jika berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada tahun 2014, presentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa, maka pada 2015 ada tambahan penduduk miskin sekitar 1,9 juta jiwa.
Jurang antara kaya-miskin semakin jomplang. Orang-orang kaya yang tingatk penghasilan Rp 1 miliar/bulan, tumbuh dengan pesat, sementara mereka yang miskin, tak bergerak. Bertambah miskin.Indek Gini akhir tahun 2014 diperkirakan mencapai 0,42. Sementara itu, dari sisi pendapatan, masyarakat Indonesia terbagi atas tiga kelas. Kelas atas sebesar 20 persen, kelas menengah sebesar 40 persen, dan kelas paling bawah mencapai 40.
Pada 2005, kelas terbawah menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi sebesar 21 persen, tetapi pada 2014 menurun menjadi 16,9 persen. Sementara untuk kelas atas, pada 2005 menerima 40 persen dan meningkat menjadi 49 persen dari PDB pada 2014.
Jika terus terjadi ketimpangan pendapatan, bukan tidak mungkin dalam kurun waktu 10 tahun Indek Gini bisa mencapai 0,6 persen. Kondisi ini akan sangat berbahaya lantaran bisa menimbulkan revolusi sosial.
Revolusi bakal terjadi dan tidak dapat dihindari lagi. Siapapun tidak akan dapat menahan bila revolusi sudah meletus. Semua akan menanggung akibatnya. Mungkin lebih dahsyat dibanding dengan peristiwa Mei'98.
Ini hanyalah akibat dari pemerintahan yang berpihak kepada para konglomerat, yang sudah menggerus kaum jelata, melalui jaringan bisnis mereka, dari bisnis skala besar, sampai ritel yang sekarang sudah masuk kampung-kampung, dan usaha orang-orang miskin gulung tikar. Memang hanya revolusi obatnya.
Tidak ada obat lain yang mujarab, menghadapi kemiskinan yang sekarang menghimpit kehidupan kaum jelata yang mlarat. Melalui cara-cara yang konvensional, seperti pemilu lima tahunan, tidak akan pernah bisa menyelesaikan nasib rakyat miskin. Ini sudah terbukti sejak Soeharto sampai Jokowi.
Lagi-lagi yang menang para pemilik modal, dan para 'taoke' alias majikan yang berduit. Mereka bisa menggelontorkan uang mereka, dan membiayai para calon, dan calon mereka menang, kemudian mereka para 'taoke' mendapatkan semua asset yang menjadi hajat hidup rakyat miskin. Siklus itu akan berulang lagi setiap lima tahun, dan negara semakin dikuasai oleh para pemilik modal dan 'taoke'.
Nasib rakyat jelata tak pernah bisa terangkat. Tetap miskin. Tidak memiliki akses politik, ekonomi, dan finansial. Semua yang memiliki akses politik, ekonomi, dan finansial, hanya para penguasa dan pengusaha, yang sudah berkelindan, menjerat nasib rakyat.
Apalagi, para penguasa yang sudah menjadi alat pengusaha dengan menggunakan aparat keamanan, menggusuri orang-orang miskin dan jelata dari pusat kota. Setiap kali melihat pemandangan yang sangat ironi, penggusuran dengan alat berat terhadap kampung kumuh yang didukung aparat keamanan.
Kaum pemilik modal 'taoke' yang didukung para penguasa, membangun jaringan bisnis sampai ke kampung-kampung melalui usaha ritel. Semua itu akibatnya mematikan usaha rakyat jelata. Tidak lagi mereka bisa bersaing dengan ritel yang memililki jaringan global, dan dengan didukung modal raksasa.
Sejatinya mereka selalu berteriak: 'MEMBELA RAKYAT'. Tapi, itu tidak pernah akan ada selamanya. Mereka bukan 'MEMBELA RAKYAT', tapi mereka itu para 'PENINDAS RAKYAT'. Membiarkan rakyat hidup sengsara dan penuh dengan penderitaan. Mereka yang berbicara tentang rakyat, sejatinya omong kosong. Sungguh.
Jadi revolusi itu obat yang paling mujarab. Seperti diungkapkan oleh DR.Sri Bintang Pamungkas, yaitu "Ganti Rezim dan Ganti Sistem", yang memang berpihak kepada rakyat. Perubahan itu hanya mungkin melalui sebuah revolusi dari kekuatan rakyat. Wallahu'alam.