JAKARTA (voa-islam.com) - Rakyat jelata semakin tenggelam dalam kemiskinan, akibat kebijakan ekonomi Jokowi-JK yang sangat liberal. Semuanya diserahkan kepada pasar.
Akibatnya berdampak terhadap kehidupan rakyat jelata. Utang tak membuat berkah, tapi malah menjadi beban rakyat. Sekarang, memang rakyat jelata tak pernah mengerti. Mereka hanya merasakan pahitnya hidup, dan segalanya serba mahal.
Rakyat jelata tak pernah ingin tahu dengan naiknya dolar. Sekarang mereka menjerit, akibat semua mahal, akibat naiknya dolar terhadap rupiah pelan, tapi secara pasti menghancurkan sendi-sendi ekonomi Indonesia.
Sekarang, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp 3.005,51 triliun, Agustus 2015. Angka ini melonjak sampai dengan Rp 94,1 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya, yaitu Rp 2.911,41 triliun.
Dirjen Pengelola Utang dari Kemenkeu pun akhirnya jujur mengakui bahwa kenaikan nilai utang karena kurs, karena tidak mungkin dalam sebulan negara menarik segitu banyak sampai Rp 94,1 triliun.
Biarpun akhir-akhir ini dalam berita Menteri BUMN, Rini Sumarno telah menyetujui berbagai utang negara atas nama BUMN, dan Menkeui Bambang Brodjonegoro telah menyetujui tambahan utang dari World Bank dan Asian Development Bank dan berbagai multilateral agency lainnya.
Sehingga tambahan utang negara yang diupayakan Meneg BUMN Rini Sumarno dan Menkeu Bambang Brodjonegoro menjadi musnah tidak berarti karena kenaikan dollar melebihi fungsi tambahan utang tersebut.
Di tengah melemahnya daya beli masyarakat bersamaan dengan pelemahan ekonomi Indonesia saat ini, beban utang negara yang mencapai lebih Rp 3000 triliun hingga Agustus 2015 cukup memprihatinkan.
Pasalnya, meroketnya volume utang ini sangat signifikan di bawah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang sama sekali tidak mampu mengontrolnya dan juga belum ada tindakan pemerintah di dalam negeri mendorong produktifitas masyarakat mendukung pertumbuhan ekonomi.
Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY selama sembilan tahun (2005-2013) yang mencapai Rp 1.650 triliun, maka pertambahan nilai utang negara selama pemerintahan Jokowi-JK yang baru 10 bulan adalah Rp 1.450 triliun. Telah Meroket 2 kali lipat pertambahan utang tersebut.
Selain itu, penambahan utang baru untuk menutup defisit anggaran yang terjadi setiap tahun sejak era SBY, utang luar negeri tiap tahun rata-rata 150 trilyun untuk menutup defisit negara.
Sehingga ada kesan penambahan utang negara ibarat “gali lubang tutup lubang” untuk kepentingan menambal defisit anggaran tersebut.
Era SBY difokuskan pada stabilitas ekonomi dengan cenderung tidak melakukan tindakan apa-apa atau lebih dikenal luas saat itu kondisi Negara Auto Pilot. Di era Presiden SBY, APBN Indonesia di Era Reformasi, telah meningkat jumlahnya sekitar lima belas kali dibanding APBN pada akhir Orde Baru.
Pada saat yang sama, meningkat pula utang pemerintah Indonesia yang mencapai lebih dari 300% dibanding utang di masa Orde Baru. Peningkatan utang yang sangat tajam terjadi pada awal Era Reformasi. Total utang di akhir Orde Baru (1997) sebesar Rp 552,5 triliun atau 57% terhadap PDB.
Seharusnya kalau APBN meningkat sebagai representative GDP meningkat ditambah dengan utang meningkat dalam jumlah yang luar biasa besar, rakyat makin sejahtera serta kehidupan rakyat semakin bertambah baik karena peredaran uang di masyarakat semakin banyak dalam kondisi moneter yang lebih baik, kesempatan masyarakat menjadi bagian dari cash flow (aliaran uang) semakin besar.
Namun dalam realitas, yang terjadi pada rakyat jelata adalah sebaliknya. Mereka semakin susah dan terpinggirkan.
Penyebabnya antara lain, APBN yang ditopang dengan utang, tidak disasarkan/ditujukan untuk membangun ekonomi yang berkeadilan. Di mana pemerintah wajib memberi affirmative action dengan program-program yang jelas untuk memberdayakan dan memajukan mayoritas rakyat Indonesia yang masih miskin, kurang pendidikan dan tertinggal.
Namun Pemerintah Jokowi-JK saat ini membangun ekonomi lebih cenderung mengamalkan asas persaingan bebas (free competition), sehingga hasilnya tidak memberi manfaat nyata bagi kemajuan rakyat jelata, justru semakin memperkaya mereka yang sudah kaya dan maju.
Selain itu, terlalu banyak kementerian dan lembaga negara yang didirikan di Era Reformasi banyak daerah Pemekaran, serta pembentukan daerah baru seperti kabupaten, kota dan provinsi, sehingga banyak menghabiskan anggaran belanja.
Pemerintah tidak hidup sederhana, hemat dan efektif dalam menggunakan anggaran belanja negara, dan terus menambah jumlah pegawai, sehingga anggaran belanja negara banyak terkuras untuk membayar belanja pegawai.
Yang lebih buruk adalah Pemerintah sekarang lebih banyak menyerahkan harga sembako dan BBM kepada mekanisme pasar bebas. Sehingga tidak heran harga beras, kedelai, daging dll dapat melonjak setiap saat tanpa kendali pemerintah.
Diperparah lagi selain BUMN dipacu berutang juga, dan Pemerintah juga terkesan membiarkan BUMN public services menaikkan tarifnya seperti PT KAI, Pertamina dan Jasa Marga, sehingga menambah beban berat ekonomi rakyat yang memacu inflasi ikut semakin meroket.
Kita menunggu Pemerintah Jokowi-JK mengambil langkah-langkah yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara diatas kepentingan partai politik dan rekan business.
Semoga bisa menjadi tambahan informasi dan tetap membuat kita semua mawas diri penurunan kemampuan sektor riil masyarakat kita sudah membahayakan dan ini diprediksi akan berlanjut sampai beberapa tahun kedepan. Rezim yang hanya bisa menumpuk utang, dan terus membebani rakyat. Wallahu'alam.
leny maryouri/pert/26/9/2015.