View Full Version
Rabu, 11 Nov 2015

Soekarno, Jokowi, Nursyahbani, dan Rehabilitasi PKI di Indonesia?

JAKARTA (voa-islam.com) – Ketika Unie Soviet runtuh, dan imperium komunis berakhir, kemudian banyak yang berbicara tentang “The end of ideology”. Benarkah ideologi atau keyakinan itu bisa mati atau berakhir, dan kehilangan eksistensinya?

Setidaknya sekarang secara ideologi dan politik, kembali menggeliat kekuatan yang pernah dikatakan sudah “mati” itu, yaitu komunisme. Rusia yang menjadi “inti” dari Unie Soviet, menggeliat kembali. Membangun “imperium” komunis, yang dipimpin “Tsar” Vladimir Putin.

Rusia dibawah Putin begitu ambisius ingin melebarkan pengaruhnya, dan wilayahnya dengan kekuatan militer. Ini persis yang pernah dilakukan oleh Unie Soviet, sejak zamannya Stalin. Membangun “imperium” yang membentang dari Moskow sampai kawasan Pasific.

Di kawasan Asia, ada Cina yang terus menggeliat, dan melakakun ekspansi ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Cina yang berpenduduk 1,4 miliar itu, terus mencari wilayah-wilayah baru yang akan menjadi daerah “jajahan” baru, sembari tetap mengembangkan pengaruh politik-ideologinya, yaitu komunisme.

Cina, menganut “one state two system”, secara ideologi-politik menganut sistem komunis yang ketat, tapi secara ekonomi menganut system “kapitalis”, yang ekonominya mengikuti pasar. Presiden Cina, Xi Jinping, praktis mengendalikan negara, dan sekaligus menjadi Committe Central PKC (Partai Komunis Cina).

Dua negara, Rusia dan Cina, bisa dikatakan mewakili kepentingan “ideologi-politik-ekonomi”, rezim komunis, yang sampai sekarang ini, terus eksis, dan memiliki pengaruh secara luas, dan terus mengembangkan pengaruhnya ke berbargtai kawasan, secara ambisius.

Indonesia dibawah Soekarno, pernah membangun hubungan dengan Moskow dan Peking (Beijing). Soekarno memiliki obsesi politik, Indonesia menjadi kekuatan politik yang besar, dan demi mewujudkan ambisi dan obsesinya itu, Soekarno rela menjadk “satelit” Moskow dan Peking. Dengan menggunakan istrumen politik di dalam negeri, yaitu PKI.

PKI yang memiliki daya tahan, dan ideologinya yang mampu membangkitkan militansi kadernya, dan terus tumbuh kader PKI, secara signifikan menjadi topangan kekuasaan Soearno. Antara Soekarno dan PKI terjai hubungan yang disebut “mutualisma-simbiosa”. Soekarno mendapatkan dukungan PKI, sebaliknya PKI mendapatkan dukungan kekuasaan dalam membangun kekuatannya di seluruh Indonesia.

PKI yang membangun kekuatan ideologi-politik dengan “systemm sel” itu, berkembang dengan sangat cepat di Indonesia. Bahkan, kader-kader PKI yang sudah sangat mapan secara ideologis, melakukan penetrasi (penyusupan) kepada pusat-pusat kekuasaaan. Termasuk dilingkungan angakatan bersenjata di Indonesia.

Maka, ketika mereka sudah merasa kuat, kembali PKI dibawah DN. Aidit melakukan kudeta di tahun l965. Di mulai dengan menculik para jenderal, dan membunuh mereka. Para jenderal yang dianggap “antek” imperlias Barat, menurut mereka harus dimusnahkan. PKI sudah membentuk “Angkatan Kelima”, yaitu buruh dan tani, yang akan menggantikan angkatan bersenjata Indonesia.

PKI hanya butuh waktu 20 tahun, sejak perisitwa “Madiun Affairs”, pemberontakan PKI di Madiun yang dipimpin Semaun, kemudian tahun l965, mereka sudah berontak dan dipimpin DN.Aidit. PKI memiliki kemampuan membangun kader, dan mampu “menggembleng” kadernya menjadi militan, kemudian merebut kekuasaan. Ini sudah menjadi “karakter” PKI.

Sekarang, di tahun 2015 ini, dibawah pemerintahan Jokowi, yang merupakan produk dari PDIP, yang selalu menggunakan atribute “MERAH”, nampaknya simpatisan dan kader PKI berhsil menyusup ke jantung PDIP. Mereka terus berjuang, dan PDIP hanya menjadi sasaran antara bagi mereka. Tujuan akhir mereka ingin menghidupkan kembali PKI. Bukan sekadar pemerintahan Jokowi minta maaf.

Jokowi hanyalah “produk” dari berbagai kepentingan ideologi-politik, yang menyatu, dan kemudian menjadikan “Jokowi” sebagai “boneka” mereka, dan menjadi kuda tunggangan. Ada kepentingan Cina yang masih menganut “one state two system” itu, dan kelompok-kelompok “kiri” yang menjadi “operator” lapangan, kemudian berhasil mengantarkan Jokowi mengambil alih kekuasaan.

Jadi, tampilnya Nursyahbani Katjacungkana, Todung Mulya Lubis, Reza di pengadilan “INTERNATIONAL TRIBUNAL COURT' itu, sudah dipersiapkan setahun lalu, ungkap Reza. Maka, bersamaan naiknya Jokowi, menjadi momentum bagi mereka, melakukan rehabilitasi terhadap PKI di Indonesia dengan membawa kasus pembunuhan PKI tahun l965 itu ke Den Haag.

Pemerintahan Jokowi tidak melarang kepergian Nursyahbani Katjasungka, Todung Mulia Lubis, dan 100 aktifis “kiri” ke Den Haag, yang pasti akan membuat Indonesia, tidak akan dapat berbuat banyak, seperti para pemimpin Rwanda, Serbia, yang sudah ditangkap dan diadili di Den Haag. 

Jaksa yang membacakan tuduhan di pengadilan ITC itu, secara terbuka membacakan tuduhan bahwa Negara Indonesia melakukan “PEMBUNUHAN MASSAL DAN PERBUDAKAN”. Luar biasa kerja kader-kader PKI memperjuangkan ideologi dan eksistensi politiknya, yaitu PKI. Wallahu'alam.


latestnews

View Full Version