View Full Version
Kamis, 14 Apr 2016

Sunny Akui Jadi Penghubung Suap Ahok. Andai Sunny dari Partai Islam, Langsung Bully!

JAKARTA (voa-islam.com) - Sah sudah, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaja mengakui menjadi perantara pertemuan antara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan para pengembang reklamasi Teluk Jakarta.

"Intinya saya menerima informasi dari pengembang dan saya menyampaikannya kepada Pak Gubernur dan eksekutif. Bukan cuma pengembang, kan biasanya Pak Ahok bisa ketemu mereka sendiri, kadang minta bantu saya jadwalkan," kata Sunny seusai diperiksa selama sekitar delapan jam di gedung KPK, Jakarta, Rabu (13/4).

Sunny diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana pemberian hadiah terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Pantai Utara Jakarta. Ia juga sudah dicegah bepergian selama enam bulan sejak 7 April 2016.

"(Bertemu) dengan Pak Ahok kadang-kadang, tidak selalu, dengan semua pengembang dan semua warga sering ketemu kok," ungkap Sunny. Dalam pemeriksaan itu Sunny mengaku ditanya mengenai relasinya dengan Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPRD DKI Jakarta yang menjadi tersangka dalam kasus ini Mohamad Sanusi.

"Ditanya yang simple-simple saja, soal tugas dan fungsi saya di kantor gubernur, peranan saya dalam pembahasan raperda, kemudian juga soal hubungan saya dengan tersangka, Pak Sanusi. Itu saja," tambah Sunny.

Sunny mengaku tidak ditanya mengenai bagi-bagi hadiah atas perannya menghubungkan Ahok dengan para pengembang tersebut.

"Enggak, enggak ditanya (pemberian uang). Hanya seputar usulan-usulan raperda," ungkap Sunny.

Sunny juga mengaku tidak ditanya mengenai kewajiban pengembang reklamasi untuk membayar kontribusi 15 persen dalam raperda tata ruang pantai utara Jakarta agar kontribusinya diturunkan hingga hanya menjadi 5 persen. "Oh enggak (ditanya tentang pembayaran kontribusi), itu tidak perlu saya, gak termasuk pertanyaan," tambah Sunny singkat.

Pelaksana harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati menjelaskan bahwa pemeriksaan Sunny dan bos PT Agung Sedayu Group Sugiyanto Kusuma alias Aguan untuk mendalami peran keduanya dalam pemberian uang kepada Sanusi. "Kami meminta keterangan mengenai peran masing-masing terkait kasus ini dan juga menanyakan dugaan-dugaan terkait suap dalam Raperda. karena dari hasil OTT kita sudah mengetahui uang dari APL (Agung Podomoro Land) seperti itu, nah dugaan selanjutnya apakah memang ada dilakukan perusahan-perusahaan lain," kata Yuyuk.

Namun Yuyuk tidak menjelaskan apakah KPK akan segera menetapkan tersangka baru dalam kasus ini baik dari sisi penerima maupun pemberi. "Kalau anggota DPRD itu (diperiksa karena) banyak keterkaitannya termasuk juga bagaimana tata cara membuat Raperda itu, rapatnya apa saja tahapannya, seperti itu," ungkap Yuyuk.

Sunny Calo Ahok?

Sunny Tanuwidjaja diduga pernah berkomunikasi dengan Aguan untuk membicarakan kewajiban pengembang reklamasi untuk membayar kontribusi 15 persen dalam raperda tata ruang pantai utara Jakarta agar kontribusinya diturunkan hingga hanya menjadi 5 persen.

Sebelumnya dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta, hanya diatur kewajiban pembuatan fasilitas sosial dan umum serta kontribusi pengembang seluas 5 persen lahan. Namun, saat Basuki menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia menambahkan kontribusi 15 persen lahan sehingga pemerintah DKI Jakarta mendapat uang Rp48,8 triliun.

Sedangkan Aguan adalah pimpinan PT Agung Sedayu yang merupakan induk dari PT Kapuk Naga Indah, salah satu dari dua pengembang yang sudah mendapat izin pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta.

Perusahaan lain adalah PT Muara Wisesa Samudera yaitu anak perusahaan Agung Podomoro.

PT Kapuk Naga Indah mendapat jatah reklamasi lima pulau (pulau A, B, C, D, E) dengan luas 1.329 hektare, sementara PT Muara Wisesa Samudera mendapat jatah rekalamasi pulau G dengan luas 161 hektare.

Izin pelaksanaan untuk PT Kapuk Naga Indah diterbitkan pada 2012 pada era Gubernur Fauzi Bowo, sedangkan izin pelaksanaan untuk PT Muara Wisesa Samudera diterbitkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada Desember 2014.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar dari total Rp2 miliar yang sudah diberikan kepada Ariesman meski belum diketahui total "commitment fee" yang diterimma Sanusi. Suap kepada Sanusi diberikan melalui Trinanda Prihantoro. KPK pun telah mengirimkan surat cegah terhadap lima orang yaitu sekretaris direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma, dan pemilik Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto. Namun hingga saat ini belum diketahui apakah Sugianto juga ikut menyuap Sanusi atau anggota badan legislasi DPRD lain karena KPK belum menetapkan tersangka lain.

Menimbang kasus Lutfhi Hasan Ishaq Vs Sunny Tanuwijaya

Center for Indonesian Reform (CIR) mencurigai adanya kalangan luar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sengaja ingin menghancurkan citra partai berlambang bulan sabit kembar dan padi itu, untuk menurunkan suaranya di Pemilu 2014 mendatang.

"PKS ada skenario dari kalangan eksternal yang ingin menjatuhkan PKS. Skenario untuk menjatuhkan PKS terlihat justru dari kejanggalan pemeriksaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," kata Direktur Eksekutif CIR, Sapto Waluyo dalam rilisnya yang diterima Sindonews, Sabtu (2/2/2013).

Menurutnya, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) tidak tertangkap tangan menerima suap, tapi datang sendiri ke kantor KPK dengan sukarela. Sebenarnya, Luthfi bisa bilang akan datang besok paginya, karena malam itu memang tak ada pemeriksaan, hanya ditanya identitas dan kondisi kesehatan.

"LHI diduga terkait suap hanya karena pengakuan seorang tersangka, sampai sekarang KPK belum membuka apa itu dua alat bukti yang dinilai cukup. Jangan sampai nanti terjadi perubahan atau penambahan alat bukti karena dakwaan suap, misalnya, dinilai lemah. Di situlah, profesionalitas KPK diuji," tandasnya.

Selain itu dia mengungkapkan kejanggalan lain, adanya kunjungan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) ke gedung lembaga antikorupsi tersebut.

Dibalik kunjungan itu, dia mencurigai adanya kepentingan. "Di tengah kejanggalan itu, kita lihat ada keanehan lain, misal kunjungan Dubes AS ke kantor KPK pada saat bersamaan dengan penangkapan tersangka suap daging impor. Jelas AS berkepentingan dengan isu daging impor karena Pemerintah RI (Kementan) sedang membatasi importasi pangan demi meningkatkan kesejahteraan peternak domestik. Apalagi, impor daging dari AS (dan negara lain) diduga ada yang bercampur daging sapi dan babi," paparnya.

Maka itu dia mengatakan, sikap Fraksi PKS jelas dan tegas mendukung pembatasan impor demi swasembada daging. Itu yang membuat marah para importir dan tentu pengusaha daging luar negeri.

"Pimpinan KPK jangan berpura-pura naif atau tak tahu terhadap lingkungan makro itu. Tepat pada hari penangkapan, juga ada berita mengagetkan tentang penyimpangan pajak keluarga istana. Mengapa KPK tak mengusut laporan yang berdasarkan temuan resmi Dirjen Pajak itu?" keluhnya.

Dia menyatakan, tugas KPK memeriksa kekayaan pejabat publik, apalagi ini top figures. Laporan media massa lebih kuat dari pada sekadar laporan 'anggota masyarakat' tentang kasus suap. "Anggota masyarakat itu siapa sih, apa KPK tidak curiga dia juga terlibat suap? Misalnya, pelapor itu sesama importir yang merasa tersisihkan, atau dia pejabat di Kementan yang pernah disingkirkan? KPK kan harus menguji kredibilitas pelapor dan itu semua wajib diberkas (BAP), meski mungkin nanti tidak berani ditampilkan di pengadilan," tandasnya.

 

Roy Suryo: Kalau Ahok, ya wajib a’in hukumnya itu 

Kader Partai Demokrat, Roy Suryo KPK wajib memeriksa Ahok karena ia selain pimpinan, juga merupakan penanggung jawab terhadap hal-hal yang dilakukan oleh anak buahnya (Sunny). “Kalau Ahok, ya wajib a’in hukumnya itu. Jelas-jelas yang bersangkutan selaku penanggung jawab wilayah (Gubernur) harus bertanggungjawab bahkan terhadap (kalau ada) kesalahan dari staffnya,” katanya, melalui pesan singkat ke voa-islam.com, kemarin (13/04/2016). Pakar telematika ini juga mengatakan bahwa apapun yang dilakukan Sunny tidak mungkin tanpa arahan dari Ahok, termasuk soal reklamasi. “Sunny tidak akan bekerja, apalagi bertindak tanpa ‘perintah atasannya’. Jadi sudah clear kan siapa yang penanggung jawab yang harus bertanggungjawab,” lanjutnya.

Ah seandainya saja Sunny dari Partai Islam, habis semua karir Ahok dan masuk bui dengan vonis 16 tahun penjara. [berbagai sumber/adivammar]


latestnews

View Full Version