BEKASI (voa-islam.com)--Baru-baru ini, pemerintah telah menyampaikan pembatalan 3143 Perda di berbagai daerah. Keputusan pembatalan Perda-Perda dikeluarkan beberapa saat setelah mencuatnya kasus razia warung makan milik Saeni oleh Satpol PP di Serang, Banten.
Namun, sampai berita ini diturunkan, Mendagri belum merilis rincian Perda yang dibatalkan tersebut. Berbagai pihak mendesak agar Mendagri segera merilis Perda-Perda yang dibatalkan.
Karena ketidakjelasan rincian ini, terjadi spekulasi di tengah masyarakat. Selain Perda yang terkait iklim usaha dan investasi, ada pihak yang memperkirakan Perda yang memuat anjuran moralitas atau bernuansa syariah pun terkena sasaran pembatalan.
Meski dibantah oleh Mendagri bahwa Perda-perda yang dibatalkan bukan Perda bernuansa syariah, tetapi umat Islam tentu harus waspada. Karena dalam kasus pengosongan kolom agama di KTP misalnya. Saat santer isu akan dibolehkannya pengosongan kolom agama di KTP, umat Islam bersuara keras menolaknya. Pemerintah melalui Mendagri Tjahjo Kumolo pun membantah hal tersebut.
Dalam satu kesempatan Tjahjo memamparkan bahwa dalam Undang-undang sudah ada ketentuan bahwa wajib hukumnya mencantumkan agama yang jumlahnya ada enam yang sah dan diperingati secara nasional. Hal ini yang wajib diisi.
"Dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 Ayat (1), disebutkan bahwa KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan e-KTP, dan tanda tangan pemilik e-KTP," papar dia seperti dikutip Okezone edisi Jumat, 7 Nopember 2014.
Namun, Mendagri inkonsistensi. Saat menyikapi kasus Sunda Wiwitan dan umat Islam kembali tenang, Mendagri membolehkan pengosongan kolom agama di KTP. "e-KTP prinsipnya yang memiliki agama sesuai dengan enam agama hukumnya wajib dicantumkan. Namun ada kelompok masyarakat yang memiliki aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan suku Samin di Jawa Tengah ini mereka butuh KTP tetapi tidak mungkin memaksakan satu agama yang tidak mereka yakini," ujar Tjahjo seperti dikutip Republika Online edisi Selasa, 23 Februari 2016.
Kembali ke soal pembatalan Perda syariah, tentunya perlu diingatkan agar umat Islam mewaspadai sikap inkonsistensi dari rezim yang berkuasa saat ini. Bisa jadi hari ini pemerintah bicara A, besok lain lagi.
Ide Lama
Kelihatannya pada kasus pembatalan Perda yang rinciannya belum jelas ini, pemerintah tengah melakukan test the water atau uji reaksi umat Islam. Menurut literatur, test the water, testing the water, alias "ngetes air" adalah memancing reaksi publik sebelum mengeluarkan kebijakan/keputusan. Jika publik tidak bereaksi atau merespons positif, maka "the show must go on", kebijakan itu akan ditetapkan.
Semestinya ketika pemerintah sudah berani mengeluarkan keputusan pembatalan ribuan Perda, maka pemerintah harus siap pula merilis rinciannya. Dianalisa, pemerintah tengah melihat respon umat Islam. Jika umat Islam diam saja, tidak melawan, tidak kritis, maka Perda-Perda yang bernuansa syariah pun akan dibabat pula.
Perlu diketahui, ide pembabatan Perda bernuansa syariah bukanlah hal baru di Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Pada massa kampanye dua tahun silam, Ketua Tim Hukum dan Advokasi Joko Widodo-Jusuf Kalla Trimedya Pandjaitan mengatakan jika kelak tokoh jagoannya menang dalam Pilpres tidak akan mendukung pemberlakukan perda yang beraroma syariat Islam. Bagi dia, Perda Syariat Islam bertentangan dengan Pancasila.
"Ke depan kami berharap Perda syariat Islam tidak ada. Ini bisa mengganggu kemajemukan karena menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat," terang Trimedya pada suatu kesempatan di tahun 2014.
Dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, pada bab X Pasal 53 disebutkan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Nah, sekarang, saat ini, Jokowi-JK menjadi penguasa negeri ini. Jika Perda-Perda bernuasa syariah termasuk yang dibatalkan, maka akan timbul kesan bahwa Pemerintah Jokowi-JK tidak demokratis. Bagaimana pun juga keluarnya produk UU di daerah berupa Perda adalah bagian dari aspirasi masyarakat daerah bersangkutan.
Kearifan Lokal
Dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, pada bab X Pasal 53 disebutkan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.” Sejauh ini proses pembentukan suatu Perda pun tidak bisa lepas dari masukan, aspirasi, maupun kearifan lokal masyarakat di daerah.
Dalam penelitiannya ada 52 kota dan kabupaten di Indonesia yang menerapkan Perda Syariah. Dan ditemui fakta bahwa Perda-Perda syariah itu diterapkan di daerah yang dikuasai oleh partai nasionalis. Atau Perda di Serang soal peraturan jam buka warung makan selama Ramadhan yang diketahui digagas oleh partai nasionalis."
Juga perlu diketahui, sebagian besar penggagas Perda-Perda bernuansa syariah di berbagai daerah adalah partai-partai politik nasionalis. Anis Baswedan yang saat ini menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah melakukan penelitian di tahun 2013.
Dalam penelitiannya ada 52 kota dan kabupaten di Indonesia yang menerapkan Perda Syariah. Dan ditemui fakta bahwa Perda-Perda syariah itu diterapkan di daerah yang dikuasai oleh partai nasionalis. Atau Perda di Serang soal peraturan jam buka warung makan selama Ramadhan yang diketahui digagas oleh partai nasionalis.
Untuk itu, ada baiknya pemerintah bijak dalam menyikapi Perda bernuansa syariah ini. Karena memang Perda-Perda ini lahir dari aspirasi berbagai golongan agama dan kelompok. Dan tentunya diterbitkannya Perda-Perda bernuansa syariah ini memiliki tujuan mulia. Pelu diingat pula, bahwa di tanah Papua pun banyak peraturan-peraturan yang mengatur soal kehidupan agama tertentu. Misalnya di Jayawijaya ada larangan berjualan setiap Ahad pagi bagi siapa pun. Aturan ini dikeluarkan untuk menjaga ketenangan umat Kristen dalam menjalankan kebaktian di gereja-gereja.* [Syaf]