Beberapa pekan terakhir, umat Islam Indonesia kembali dihadapkan dengan perdebatan wacana Islam Nusantara. Adalah MUI Sumatera Barat beserta MUI se-Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang memicu perdebatan itu muncul kembali. Dalam hasil rapat koordinasi daerah MUI Sesumbar menyatakan bahwa Ranah Minang tidak butuh Islam Nusantara, dengan kata lain MUI Sumbar dengan tegas menolak istilah Islam Nusantara.
“Kami MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa : Islam Nusantara dalam konsep/pengertian/defenisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumatera Barat),” demikian bunyi pernyataan resmi MUI Sumbar, seperti dikutip langsung di akun Facebook Buya Gusrizal Gazahar (Ketum MUI Sumbar).
“Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah-tambah lagi dengan embel-embel apapun,” tegas pernyataan tersebut.
Tentu saja penolakan hadirnya Islam Nusantara di Sumatera Barat membuat pihak-pihak yang punya andil hadirnya konsep tersebut, murka. Bahkan wakil ketua MUI Pusat, Zainut Tauhid menyebut MUI Sumatera Barat telah menyalahi khittah dan jati diri majelis ulama. Tidak hanya itu, ketua MUI Pusat, KH Makruf Amin juga menyayangkan adanya penolakan konsep Islam Nusantara oleh MUI Sumatera Barat.
Meskipun adanya teguran dari beberapa pihak khususnya MUI Pusat, namun MUI Sumbar tetap dengan pendapat mereka bahwa menolak konsep Islam Nusantara.
Perdebatan ataupun pro kontra Islam Nusantara sebelumnya sudah pernah hadir pasca konsep Islam Nusantara itu pertama kali diperkenalkan pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang tahun 2015 lalu.
Secretary General of International Conference of Islamic Sholars (ICIS), KH. Hasyim Muzadi, pada acara penutupan (ICIS) ke-IV di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Rabu (25/11/2015) menolak istilah Islam Nusantara Islam, tapi mengusulkan tetap menggunakan istilah rahmatan lil ‘alamin.
Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) ini, Islam rahmatan lil ‘alamin dirujuk karena untuk menghindari konflik antara negara, atau antara regional. Sehingga tidak membatasi Islam dengan sudut geografis ataupun kultural.
“Oleh karena itu kita sebut Islam di Nusantara, bukan Islam Nusantara. Supaya tidak membedakan diri dengan Islam di lain negara,” ujarnya seperti dikutip dari Hidayatullah.com.
Ketika rahamatan lil ‘alamin yang dipakai, lanjut KH. Hasyim, semua bisa menerimanya. Karena memang sudah disebutkan demikian oleh Al-Qur’an.
“Makanya sampai sekarang tidak ada komplain terhadap istilah Islam rahmatan lil ‘alamin,”jelasnya.
“Nusantara tidak bisa dipakai nama Islam, karena Islam itu kan universal, kalau Nusantara itu lokal,” lanjut pimpinan Ponpes Al-Hikam Malang ini.
Menurutnya, dahulu Islam Nusantara masih relevan untuk berdakwah di masa animisme saat kerajaan Hindu-Budha berkuasa di Indonesia.
“Tapi sekarang jadi dibelokan dan macam-macam," Padahal yang terpenting, terang KH. Hasyim, hadirnya Islam adalah rahmat bagi semua. Muslimin wa ghaira Muslim.
Kekhawatiran yang sama bahwa konsep Islam Nusantara dibelokkan juga mengemuka dalam dialog antara pendukung Islam Nusantara diwakili Ansor dan FPI di Cianjur, Jawa Barat, pada hari Sabtu 28 Juli 2018 mulai pukul 22 : 30 WIB di Ponpes Hibatussa'diyyah, Pimp KH. Cepy Hibatullah.
Kyai Salman, Lc, selaku narasumber pertama dari kubu pro Islam Nusantara menyampaikan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab baru, akan tetapi konsep beragama Islam Ahlusunnah wal Jamaah yang santun, ramah dan mengedepankan pendekatan budaya dalam dakwah, sebagaimana hal ini terwujud di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu.
Sementara itu, Ketua Umum Habib Hanif Alathas, Lc. sebagai Ketua Umum FPI menilai Islam Nusantara berbeda antara bungkus dan teori atau antara substansi dan realita yang ada.
Habib Hanif menerangkan bahwa konsep tertulis yang ditawarkan, khususnya yang dirumuskan dalam hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di Malang, yaitu; Islam Nusantara adalah ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang anti Radikal dan Liberal, juga Syiah dan Wahabi, dengan cara dakwah yang sopan santun serta mengedepankan akhkaqul karimah, Maka defenisi ini sangat bagus dan menarik.
Namun, realita dan fakta di lapangan membuktikan sebaliknya, Islam nusantara ditunggangi oleh kelompok Liberal untuk mengkampanyekan kebencian kepada Arab.
Selain itu, menurutnya, Islam Nusantara juga kerap dijadikan kendaraan untuk melegitimasi ajaran-ajaran menyimpang seperti Rofidhoh, Liberalisme, Pluralisme bahkan sampai Komunisme, juga banyak tokoh-tokoh Islam Nusantara menganggap ajaran Islam seperti Cadar, Gamis, dan Jenggot, sebagai Budaya Arab, hingga menebar kebencian kepada para Habaib.
Munculnya penolakan konsep Islam Nusantara dari kalangan mazhab NU itu sendiri, menjadi isyarat bahwa konsep tersebut mempunyai pesan "bermasalah" terhadap eksistensi Islam sebenarnya.
Setidaknya, yang kentara ada kesan pembandingan Islam di tempat lain tidak lebih baik dari di Nusantara, atau ada kesan Islam di tempat lain gagal menjelaskan keramahan dan kelembutan Islam seperti di Nusantara. Gawatnya, kesan-kesan seperti itu opinikan melalui klaim-klaim tidak berbasis data bahwa seolah-olah di negara lain konflik muncul karena Islam atau orang Islam, bukan faktor politik, ideologi atau sosial lainnya.
Selain itu, meski pendefinisian konsep Islam Nusantara sudah sangat baik dan elegan, munculnya penolakan menandakan bahwa kesan dan opini yang dibangun propagandis Islam Nusantara dalam realita yang berkembang adalah berbahaya.
Apalagi, diksi Islam Nusantara di kalangan grass root mudah ditafsirkan macam-macam. Tidak mudah mengajak graas root melek literasi, seperti yang disarankan pro Islam Nusantara dalam rangka mengclearkan istilah itu.
Yang terbaik adalah mensosialisikan Islam sebagaimana agama itu menerangkan sendiri sebagai rahmatan lil alamin. Secara diksi, istilah, dan realita tidak bisa diutak atik kecuali kepada makna kebaikan.[Redaksi]