Sudah hampir dua minggu pompa air di rumah menyala lebih lama dari sebelumnya. Segera kami panggilakan tukang servis pompa air di sekitaran Condet ke rumah untuk memeriksanya. Ternyata tidak ada kerusakan, dan si juru ahli hanya menyarankan agar menghemat penggunaan air dari sekarang karena musim kemarau telah tiba. Penasaran mendengar berita buruk tersebut, kami mencoba menginterogasi tetangga-tetangga kami di kawasan Sawo Manila Pejaten, Jakarta Selatan. Beruntunglah keluhan pompa air di rumah juga dirasakan warga sekitar.
Fenomena di atas mengingatkan kami pada tahun millennium, dimana negeri ini dilanda panas kemarau yang membuat petani putus asa dan sebagian masyarakat harus membeli air setiap harinya. Meski saat itu kran di rumah kami masih mengucurkan rintihan air kecil, namun bila dikalkulasi secara pengeluaran biaya warga sekitar yang membeli air sanksinya sama, alias sama-sama dipaksa menambah struk kebutuhan rumah tangga. Hal itu disebabkan karena listrik yang menghidupkan pompa air berjam-jam setiap harinya, sehingga kami dituntut melunasi tagihan listrik yang membengkak. Kenyataan ini sebenarnya dirasa tidak adil jika pemerintah mewajibkan pungutan Pajak Bumi Bangunan(PBB) setiap tahun, sementara air yang terkandung di dalam bumi dipersulit oleh monopoli Perusahaan Listrik Negara(PLN).
Sejak Oktober 2010, pusat BMG terlihat kikuk memprediksi cuaca ekstrim yang bakal menimpa Jakarta. Adakalanya hujan deras, namun resapan air tidak sempurna diakibatkan lapisan aspal dan jutaan beton yang menancap ibukota. Tak khayal jika curah hujan melarikan diri ke sungai-laut tanpa sempat menghampiri kantong air di bawah rumah-rumah penduduk. Mungkin esok hujan, tapi hanya sekedar penghilang debu. Minggu ini mungkin hujan beruntun, tapi hanya kolam kobokan di ruas-ruas pemukiman kota.
Sekarang warga di kawasan Pejaten mulai khawatir jika bencana kemarau di tahun 1999 akan terulang. Gejalanya sudah dirasakan, mulai dari jet pompa yang memakan listrik berlebih dan menyusutnya dorongan air yang mengucuri drum induk di rumah. Yang kami cemaskan adalah kami tidak lagi memiliki lapangan bola, yang dahulu biasa kami gunakan untuk sholat berjamaah meminta diturunkannya hujan. Itupun permohonan kami tidak terkabul, mengingat faktor kemaksiatan yang masih menggurita di lingkungan kami.
Tetapi ini benar-benar berbeda ketika pada saat yang bersamaan(1999) saya diminta ayah menemani pergi melawat ke Solo, atas meninggalnya pakde Slamet Siswoyo di kediamannya Tipes, Surakarta. Dua hari setelah meninggalnya almarhum, saya diajak bibi Sumaryati mengikuti sholat berjamaah meminta diturunkannya hujan yang di imami oleh Kyai Abu Bakar Baasyir, di lapangan Pringgolayan. Siang itu jamaah begitu khusyu’ menjalani sholat hingga ada beberapa orang yang menangis ketakutan. Kyia Abu Bakar Baasyir juga melinagkan air matanya saat berdoa, seraya menghimbau jamaah yang hadir agar benar-benar bertaubat dan mengingkari segala bentuk kemungkaran(baik maksiat kecil dan maksiat besar). Sayapun merinding mendengar ketulusan doa sang imam yang begitu takut akan ancaman Allah. Subhanallah.. tepat malam harinya hujan lebat mengguyur kota Solo yang membuat kami ternyenyak dalam tidur.
Mungkin orang-orang di luar sana menganggap keajaiban di atas hanya kebetulan saja, tapi di tahun-tahun sebelumnya warga di bilangan Cemani-Grogol Surakarta gemar melakukan ibadah itu di kala kemarau hadir ditengah-tengah mereka. Dan tentunya dibarengi aktivitas memerangi kemaksiatan, yang pada hakikatnya kemaksiatan menghalangi terkabulnya suatu doa.
Mudah-mudahan Kyai Abu Bakar Baasyir tetap istiqomah di dalam lapas dan tetap setia mendoakan keselamatan umat Islam di Indonesia. Kami mewakili umat Islam awam di Indonesia sebenarnya sudah tahu akan keculasan picik yang dituduhkan Kyai Abu Bakar Baasyir yang senantiasa di garis lurus. Kami merindukan beliau seperti halnya kami menyayangi eyang kami sendiri. Semoga para pemimpin negeri yang sedang berpura-pura Islam segera sadar menghentikan sifat rakusnya membudak-dirikan kepentingan asing, yang tidak lain hanya menguntungkan Negara lain dibalik kerugian fatal rakyatnya sendiri. Sebelum akhirnya kemarau membuat Allah gerah mengkipaskan jabatannya dengan petaka yang tidak disangka-sangka. Maha benar Allah yang mengkehendaki kesengsaraan rakyat Indonesia di tangan orang-orang zalim.
Johan Pranata,
mahasiswa Trisakti/Ekonomi Perbankan