PERS RILIS CEDES :
Enam bulan telah berlalu sejak Jokowi-Jusuf Kalla didapuk menjadi Presiden dan Wapres. Mantra Trisakti dan Nawa Cita tak kunjung menunjukkan keampuhannya.
Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan entah terbang ke mana. Padahal, kedua ‘komoditas’ itu adalah jualan andalan Jokowi-JK saat maju sebagai Capres pada 2014 silam.
Dengan Trisakti dan Nawa Cita pula mereka menyihir rakyat hingga mengabaikan rekam jejak. Hasilnya benar-benar ajib. Substansi tergusur oleh hingar-bingar polesan citra. Logika dan nalar publik tersingkir oleh harapan yang membuncah atas sosok baru yang tiba-tiba moncer bak meteor di langit gelap.
Lalu, sim salabim, jadilah keduanya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia! Buat sebagian besar rakyat, ekonomi menjadi hal teramat penting. Rakyat (nyaris) tidak peduli dengan adu otot dan adu licik di ranah politik. Apa yang dipertontonkan para elit tidak lebih dari pamer keculasan dan khianat.
Faktanya, dengan tanpa malu mereka cuma sibuk beseteru sambil asyik menggembungkan pundi-pundi sendiri. Rakyat? Silakan berjibaku dan termehek-mehek mengatasi segala beratnya beban hidup.
Bagaimana sejatinya kondisi ekonomi kita kini?
Selasa (5/5) Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan 1 sebesar 4,71%. Angka ini turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,14%.
Rilis BPS tadi sekaligus menjungkalkan prediksi yang masih saja terus ditebarkan para pengamat dan pejabat, bahwa ekonomi kita masih bakal tumbuh sekitar 5%.
Entah dari mana mereka memungut optimisme di tengah begitu benderangnya kelesuan ekonomi.
Sejatinya, sirine memburuknya perekonomian sudah meraung-raung sejak beberapa bulan terakhir. Bahkan kalau mau ditarik mundur, sinyal-sinyal ekonomi memasuki ‘lampu kuning’ sudah menyalak, paling tidak, sejak awal 2013.
Saat itu, ekonom senior Rizal Ramli mengingatkan pemerintah tentang terjadinya quatro-deficits sekaligus. Yaitu, defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,4 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar, dan defisit APBN plus utang yang lebih dari Rp2.100 triliun.
Ini benar-benar bahaya! Sayangnya, pemerintah mengabaikan warning itu. Padahal, Rizal tidak asal bunyi alias atau cuma piawai berteori. Anggota Tim Ahli Panel Ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa ini adalah tokoh nasional yang terbukti bertangan dingin dalam menyelesaikan berbagai problem ekonomi.
Kebijakan-kebijakan terobosannya sering menyempal dari mainstream neolib, yang tentu saja, tidak disukai para komparadornya di ngeri ini. Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur.
Tapi, baiklah. Itu kisah lama. Bagaimana dengan rezim sekarang?
Apakah Tim ekonomi di bawah komando Sofyan Djalil bisa membaca tanda-tanda zaman? Kinerja mereka, maaf, benar-benar di bawah banderol.
Terbukti, bahwa tim ekonomi besutan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sekumpulan orang gamang yang tidak paham dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Data ekonomi dan keuangan teranyar menunjukkan penurunan kinerja yang luar biasa.
Dari pasar modal, misalnya, hanya dalam tempo sepekan (27-30 April) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok 6,4%. Rontoknya indeks dipicu aksi jual investor asing yang mencapai Rp 7,1 triliun. Data keuangan emiten yang dipublikasikan menunjukkan penjualan semua sektor memburuk.
Penjualan semen turun 3,3%, mobil minus 15%, motor anjlok 19%, dan properti terjun hingga 50%. Begitu juga dengan ekspor yang terjungkal sebesar 11,67%.
Lunglainya penjualan menyebabkan laba bersih emiten melorot. Semuanya berpangkal pada konsumsi domestik yang melemah. Mereka antara lain, Astra Internasional turun 15,64%, Bank Danamon (-21,47%), London Sumatra (-32,3%), Adhi Karya (-34,5%), Tambang Batubara Bukit Asam (-36,5%), Indofood (-37,4%), Adaro (-55%), Agung Podomoro land (-65%), dan Arwana Citra Mulia (-49,3%).
Penurunan lebih dahsyat bahkan mendera Wijaya Karya (-63,29%), Astra Otopart (-67%), Astra Agro Lestari (-80,11%), Holcim (-89,78%), Bank CIMB (-92,4%), Timah (-120,1%).
Apa artinya angka-angka ini? Ekonomi kita menuju kehancuran! Sebagian pengusaha yakin, jika tidak ada perbaikan berarti, Indonesia akan kembali ke era 1997-1998an.
Ya, saat itu Indonesia luluh-lantak dihajar krisis. Ekonomi yang sebelumnya bertengger di kisaran 6%, tiba-tiba terkontraksi minus 13%. Inflasi melonjak hingga puluhan persen.
Suku bunga overnight interbank terbang ke ratusan persen. Jokowi harus segera bertindak. Sebagai presiden, dia harus menyelamatkan Indonesia. Sebagai Presiden, kali ini dia harus menggunakan hak prerogatifnya secara penuh.
Lakukan reshuffle kabinet.
Rombak tim ekonomi. Ganti dan isi dengan orang-orang yang berkompeten. Mereka harus paham masalah dan tahu solusi yang dibutuhkan. Hanya mereka yang punya kapasitas dan kapabelitas dengan rekam jejak teruji yang boleh memangku jabatan amat penting ini.
Para pengganti itu harus membuang jauh-jauh mazhab neolib yang selama puluhan tahun diterapkan dan terbukti gagal. Mereka itu haruslah para penganut dan pejuang ekonomi konstitusi, yang berpihak kepada kepentingan nasional, kepada sebagian besar rakyat Indonesia. Reshuffle atau hancur.
Kami tunggu langkah konkret Anda, pak Presiden. (*)
Jakarta, 7 Mei 2015
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)