Pernyataan Sikap Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Bandung Raya
Rohingya, Negeri yang Terluka
Sejak tahun 1948 sampai sekarang, Muslim Rohingya tidak mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia di tempat kelahiran mereka. Di tahun 1982, ketika pemerintahan Ne Win memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan, 800.000 orang Rohingya ditolak kewarganegaraannya. Pada tahun 1991-1992, 250 ribu pengungsi Rohingya membanjiri Bangladesh. Hingga Tahun 2010 saat Thein Sein berkuasa, pemerintah junta militer menuju transformasi demokrasi, dan menjadikan Myanmar sebagai negara yang dipimpin sipil. Sistem politik dan ekonomi semakin terbuka. Pembatasan penulisan di media sudah makin longgar. Di sisi lain, hanya etnis Rohingya yang tidak merasakan perubahan dari keterbukaan Myanmar ini, mereka masih tetap terpinggirkan, miskin dan terlantar.
Karena dipinggirkan di negeri sendiri, warga etnis Rohingya memutuskan untuk meninggalkan Myanmar. Mereka menumpang kapal-kapal yang diduga dikendalikan jaringan penyelundup manusia dengan tujuan utama Malaysia.
Pulau Langkawi, Malaysia, didarati 1.107 pengungsi Rohingya dan migran Banglades, yang kemudian ditempatkan di Pusat Detensi Imigrasi Belantik, Negara Bagian Kedah. Sekitar 1.800 orang lainnya diselamatkan di Aceh melalui tiga gelombang. Ribuan orang lainnya diperkirakan masih berada di laut.
Tidak diakui sebagai Warga Negara
Pencabutan kartu identitas penduduk yang dikenal sebagai kartu putih bagi orang Rohingya oleh Pemerintah Myanmar mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nekat mempertaruhkan nyawa mengarungi laut. Sekitar 300.000 lembar kartu putih, bukti terakhir yang menunjukkan mereka adalah warga Myanmar, sudah diminta kembali oleh pihak berwenang dan dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret lalu.
Sebenarnya jika memiliki kartu itu, kelompok etnis Rohingya masih memiliki beberapa hak sebagai warga negara, antara lain boleh memberikan suara dalam pemilihan umum. Mayoritas kelompok etnis Rohingya, yang jumlahnya 1,3 juta jiwa hingga 1,5 juta jiwa, tinggal di negara bagian Rakhine di dekat perbatasan antara Myanmar dan Banglades.
Bila tidak ada dokumen dan tidak ada tempat bagi mereka, bergerak pun tidak boleh. Pergi dari satu tempat ke tempat lain pun tidak boleh. Ada undang-undang yang menyekat pergaulan, yang bahkan menyekat cinta. Maka dari itu, mereka akhirnya mencari jalan keluar dari Myanmar.
Bila dirunut, dari segi waktu, tampaknya terdapat korelasi antara jatuh tempo kartu putih dan tempo perjalanan para pengungsi yang mengaku berangkat kira-kira selama dua bulan. Seorang anggota parlemen Myanmar dari kelompok etnis Rohingya, Shwe Maung, mengatakan, kartu kutih dinyatakan tak berlaku setelah kelompok-kelompok nasionalis Buddha melontarkan protes keras pada Februari lalu. Padahal, pemerintah baru saja mengesahkan rancangan undang-undang yang menyatakan bahwa pemilik kartu tersebut mempunyai hak pilih. Kala itu, Pemerintah Myanmar mengatakan akan membentuk komisi guna mengkaji persoalan kartu putih. Pencabutan kartu tersebut, jelas membuat warga Rohingya resah.
“Kerusuhan” antar etnis (red-agama)
Menyusul gelombang kerusuhan, termasuk pada tahun 2012, yang menewaskan setidaknya 200 orang, muslim Rohingya ditempatkan di kamp-kamp pengungsi dan tidak diizinkan bekerja di luar lingkungan tempat tinggalnya. Pemerintah beralasan, lokalisasi dilakukan untuk melindungi warga Rohingya dari amukan massa. Bila mereka tetap di Myanmar, muslim Rohingya akan dimasukkan ke penjara. Keselamatan jiwa mereka terancam, dan hak pilih mereka sudah dicabut
Rohingya oleh Pemerintah Myanmar dianggap sebagai pendatang dari Banglades, meskipun mereka secara turun-temurun tinggal di Rakhine. Belakangan, sikap Myanmar melunak terhadap krisis pengungsi di Asia Tenggara, menyusul berbagai tekanan, termasuk tekanan diplomatik yang dilakukan Indonesia dan Malaysia.
Setelah konflik yang terjadi antara muslim Rohingya dan Budha Rakine di Juni 2012 lalu, hingga sekarang, kehidupan muslim Rohingya dalam kondisi rusuh dan kritis. Mereka diteror, dianiaya, bahkan dibunuh oleh militer. Mereka dipaksa meninggalkan Myanmar, mengarungi lautan hanya menggunakan perahu kayu, dengan sedikit bekal, dan seringkali mesin perahu rusak sehingga mereka terombang-ambing di lautan yang ganas. Dan ratusan ribu orang mati tenggelam dalam perjalanan.
Kaum Muslimin di Rohingya jadi objek penindasan pemerintah sekaligus etnis Budha yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan apakah kesalahan mereka karena mereka adalah muslim? Apakah mereka tidak berhak hidup tenang dan bahagia sebagaimana yang lain? Tentu Tidak. Hal ini terjadi karena tidak ada seorangpun yang menjadi penjaga mereka. Tidak ada pemimpin yang menerapkan hukum Allah untuk menghormati manusia, dan menjamin pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dan saat ini, tercatat lebih dari 100.000 muslim Rohingya dibunuh dan mayoritas mereka adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi).
Maka bagaimana dengan hilangnya ribuan bahkan jutaan jiwa melayang? Allah SWT berfirman dalam surat Al-Buruj ayat 8:
“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena orang-orang mu’min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”
Masalah Rohingya, Masalah Umat Muslim Sedunia
Perlakuan kurang baik dilakukan negara-negara kawasan Asia Tenggara, seperti Pemerintah Thailand telah menahan 100 orang Rohingya yang masuk ke wilayahnya. Demikian juga dengan pemerintah Malaysia dan Bangladesh yang penguasanya adalah muslim, mereka telah mengusir orang yang lari karena agamanya, dengan alasan tidak ada visa masuk, kedaulatan negara, akan menimbulkan masalah sosial dan alasan-alasan lain yang tidak masuk akal. Bahkan, Menteri Dalam Negeri Malaysia melaporkan, penemuan kuburan massal yang diyakini sebagai kuburan ratusan migran asal Bangladesh dan Myanmar. Polisi menemukan 30 kuburan besar di dua lokasi di utara negara bagian Perlis, yang berbatasan dengan Thailand. Dilansir juga oleh surat kabar The Stars hampir 100 mayat ditemukan di salah satu makam. Sangat ironis, padahal membantu mereka dengan memberi makanan, tempat tinggal dan pakaian adalah kewajiban Syar’i termasuk mencegah orang Budha untuk mengintimidasi muslim Rohingya.
Begitupula dengan sikap pemerintah Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia yang seharusnya berbuat lebih baik dari sekedar memberi bantuan berupa materi. Bantuan tidak cukup hanya dengan memberi penampungan bagi warga Rohingya yang tertindas, tetapi membantu untuk menyelesaikan masalah yang menyebabkan mereka meninggalkan negeri mereka. Semestinya Indonesia menghalangi pemerintah Myanmar untuk tidak menakut-nakuti orang Islam, membunuh dan membakar harta-harta mereka, dengan mengirim bala tentara untuk menyelematkan kaum muslimin. Namun pada kenyataannya, pemerintah Indonesia tidak menerima pengungsi yang menjadi saudara mereka sesama muslim. Bantuan dan penerimaan baru diberikan setelah ada desakan berbagai pihak untuk melakukan pertolongan pada pengungsi Rohingya, dari mulai MUI sampai Pemerintah Daerah Aceh yang berinisiatif untuk menyediakan bantuan. Bahkan pada awalnya, TNI Angkatan Laut diperintahkan untuk mencegah masuknya perahu Rohingya yang hendak masuk ke wilayah Indonesia. Akan tetapi, Pemerintah tidak melakukan sikap yang tegas pada Myanmar. Bahkan mereka tidak peduli dengan nasib saudaranya di pengungsian. Begitulah, nasionalisme telah mematikan rasa persaudaraan Islam yang telah ditetapkan oleh ‘Aqidah Islam.
Sesungguhnya pengkhianatan pemimpin muslim sudah sangat nyata, dan ini terlihat dari ketidakpedulian mereka terhadap persoalan umat Islam dan menyerahkannya kepada masyarakat internasional. Padahal organisasi internasional ini tidak pernah menyelesaikan masalah apapun. Sebagai contoh, masalah Palestina masih dalam koridor PBB sejak lima sampai enam puluh tahun lalu. Dan sampai sekarang masih jalan di tempat, bahkan semakin kompleks. Karena itu wajib bagi kita untuk mengambil sikap sebagai mu’min yang benar dengan bertawakkal kepada Allah SWT. Dan memecahkan masalah dengan kekuatan kita sendiri. Karena jika tidak, maka tidak ada seorang pun yang akan menghormati kita, darah, kehormatan dan harta kita.
Masih segar dalam ingatan, peringatan Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan sebagai bentuk solidaritas Negara-negara di dunia ketiga. Salah satu resolusi yang dicanangkan adalah menghapuskan penjajahan. Akan tetapi, kasus Rohingya sama sekali tidak masuk dalam resolusi, padahal mereka tinggal di wilayah Asia dan penderitaan mereka sudah berlangsung lama. Mata dunia seakan-akan terturup rapat dari kasus ini. Inilah realita negeri-negeri Muslim saat ini, tidak acuh pada nasib saudaranya sendiri. Hingar binger peringatan KAA seakan-akan hanya formalitas belaka, tanpa memberikan pengaruh apapun pada kondisi Negara-negara di Asia dan Afrika.
Buah Nasionalisme
Pengakuan TNI yang menolak pengungsi minoritas Muslim Rohingya berlabuh di pantai Indonesia merupakan buah dari ikatan nasionalisme. Alasan yang dikeluarkan cukup megejutkan, mereka dianggap mengancam kedaulatan NKRI dan dianggap akan menimbulkan masalah sosial baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Inilah buah nasionalisme, yang menjadikan kepentingan nasional di atas segalanya, menghilangkan kepedulian terhadap umat, memecahbelah dan memperlemah umat Islam.
Dalam Islam, ikatan sejati dan tertinggi adalah akidah Islam yang mewajibkan persatuan umat dan kepedulian terhadap umat yang menderita dan dalam Islam juga umat Islam adalah umat yang satu, bagaikan satu tubuh, kalau satu bagian tubuh yang satu sakit maka bagian yang lain ikut menderita.
Penolakan Indonesia ini juga menunjukkan meski penduduknya mayoritas Muslim tetapi pemerintahannya sekuler. Sebelumnya, Juru bicara Mabes TNI Mayjen Fuad Basya mengakui Indonesia telah meminta sebuah kapal pengungsi Rohingya yang berada di perairan Aceh untuk memutar arah dan tidak mendarat di wilayah Indonesia. Fuad juga mengatakan para pengungsi tersebut diberikan bantuan bahan bakar minyak dan juga makanan untuk dapat bertahan.
Kepalsuan Propaganda Hak Asasi Manusia Barat
Sesungguhnya tragedi muslim Rohingya telah menyingkap kedustaan dan kepalsuan dari propaganda Barat. Karena meski mereka menegaskan bahwa muslim Rohingya adalah kelompok yang menerima perlakukan terburuk di dunia, hanya saja mereka tidak menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan genosida yang dilakukan terhadap umat Islam. Dan kebijakan terbaru adalah membatasi kelahiran muslim Rohingya dengan dua anak saja. Dimana para pegiat HAM saat kondisi Rohingya sangat memprihatinkan?.
Mata para aktivis HAM seakan-akan tertutup untuk kasus-kasus yang merugikan Umat Islam. Saat pelanggaran terhadap Syariat Islam di negeri-negeri muslim dianggap sebagai aktualisasi dari hak asasi manusia, disisi lain keinginan Umat Islam untuk beribadah dan melaksanakan ajaran Agama di negeri-negeri sekuler justru dilarang karena dianggap sebagai bibit-bibit radikalisme. Sungguh konsep yang sangat Absurd, semua orang yang masih jernih berfikir pasti tahu bahwa Amerika lah Teroris dunia yang sebenarnya. Mereka melakukan invasi terhadap Afghanistan, Irak, Suriah dan negeri Muslim lainnya dengan dalih memerangi Teroris yang tidak pernah terbukti. Disisi lain, penyerangan Israel ke Palestina dan penindasan kaum Budha terhadap Muslim Rohingya tidak dianggap sebagai aktifitas terorisme.
Khilafah, solusi permasalahan Umat
Tidak ada solusi untuk tragedi ini kecuali dengan eksisnya Khilafah Islamiyah di muka bumi. Dengan khalifah umat Islam, rakyat yang muslim maupun non muslim akan terlindungi. Khalifah akan membela orang yang tertindas di dunia, apapun bangsa dan agama mereka, karena pada dasarnya Pemimpin Umat Islam laksana perisai yang melindungi Umat dari berbagai macam gangguan.
Khalifah umat Islam yang telah menyelamatkan satu orang muslimah dan menaklukan kerajaan ‘Amuria. Dia yang membawa makanan untuk seorang janda yang tidak mempunyai makanan untuk anak-anaknya yang yatim. Dia yang sangat tidak menginginkan orang-orang berkata: “burung-burung kelaparan di negeri muslim”. Dia adalah pelindung negara dan orang-orang miskin, dan mereka yang tidak punya penjaga dan tersia-sia sebagaimana tersia-sianya umat kita saat ini yang menjadi santapan para penjahat.
Solusi untuk musibah ini bukan hanya dengan melakukan penggalangan dana santunan untuk muslim Rohingya, atau hanya sekedar memberikan tempat sementara hingga akhirnya nanti dipulangkan kembali. Bukan pula dengan memberi mereka kewarganegaraan atau dengan berdo’a saja. Karena akar masalahnya adalah mereka tidak punya pelindung dan pemimpin yang menjaga jiwa-jiwa dan kehormatan mereka, dan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar mereka.
Karena itu khilafah merupakan kebutuhan mendesak, dunia membutuhkan khilafah agar bisa terlepas dari keburukan kapitalisme yang rakus dan kekerasan peradaban barat. Lebih dari itu bahwa tegaknya khilafah adalah kewajiban terpenting yang telah Allah wajibkan kepada setiap muslim. Khilafah adalah kewajiban yang akan menjamin pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya yang menjadi sumber kemuliaan, kesatuan dan kemuliaan umat.
Oleh karena itu, Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Bandung Raya menyatakan :