PERNYATAAN SIKAP DEMA-FISIP UIN JAKARTA TERHADAP PELANGGARAN KEMANUSIAAN, KEAGAMAAN DAN KEBANGSAAN DI TILOKARA, KAB. WAMENA – PAPUA
Indonesia merupakah nama dari bangsa dan negara yang lahir dari sebuah konsensus agung para founding father atau pendiri bangsanya. Dimana bangsa dan Negara ini lahir berdasarkan kesatuan dan persatuan manusia Indonesia yang sadar bahwa diperlukan identitas kolektif untuk membangun bangsa dan Negara yang kuat dan kokoh.
Oleh sebab itu, kemajemukan dan keberagaman agama, suku, dan budaya yang ada di bumi Indonesia memutuskan untuk bersatu menjadi sebuah bangsa yang utuh, sebagaimana dideklarasikan ketika Kongres Pemuda II dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Setelah itu bangsa juga bersatu-padu untuk membangun Negara yang merdeka, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan kepada; 1. Ke-Tuhan-an yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Fenomena kekerasan agama di Indonesia memang bukan barang langka. Namun sungguh sebuah IRONI yang memperihatinkan apabila terdapat individu, kelompok, aparat bahkan pemerintah di Indonesia yang diam, bungkam bahkan mendukung tindakan kekerasan untuk mengintimidasi bahkan menyingkirkan pihak lain, terlebih dengan mengatasnamakan agama. Tidak hanya melanggar Hak Asasi Manusia, tindakan tersebut juga menjadi sebuah ancaman terhadap fitrah kemanusiaan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
DEMA-FISIP UIN Jakarta memandang bahwa peristiwa penyebaran surat pemberitahuan dengan tidak diperbolehkannya umat Islam Tolikara menjalankan shalat ied, peristiwa pembubaran shalat Iedul Fitri dan pembakaran Masjid Baitul Muttaqin di Tolikara, Kab. Wamena, Papua pada Jum’at (17/7/2015) merupakan tindakan kekerasan yang TIDAK DAPAT DIBENARKAN dengan alasan bagaimanapun juga. Hal tersebut juga merupakan PELANGGARAN hak beribadah bagi setiap umat beragama yang merupakan bagian dari prinsip hak atau kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana UUD pasal 28E ayat 2. Selain itu, jelas bahwa peristiwa ini tidak sama sekali mencerminkan jati diri bangsa, bahkan jauh dari nilai-nilai kebangsaan yang mengindahkan nilai kesatuan dan persatuan dalam perbedaan.
Dengan memperhatikan fenomena tersebut kami DEMA-FISIP UIN Syarif Hidayatullah menyatakan sikap:
DEMA FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA