Menilik beberapa tweet akun resmi sosial media Ridwan Kamil (RK), Walikota Bandung, RK telah menyinggung konsep pemerintahan yang tengah dijalankan di Indonesia. Beberapa pernyataan itu setidaknya mengukuhkan bahwa apa yang tengah menjadi perahu dalam menjalankan kepemimpinannya itu berada pada koridor yang benar, bahkan mutlak harus dijadikan pedoman dalam menilai. Siapa saja yang tidak sejalan dengan kepemimpinan berbasis pada koridor demokrasi, maka sejatinya ketidaksejalanan itu adalah kekeliruan karena keluar dari koridor sistem yang berlaku. Setidaknya beberapa tweet yang dilontarkan oleh RK dapat dilihat sebagai berikut:
Dari keempat sub-topik yang dilayangkan oleh Ridwan Kamil bisa disimpulkan bahwa RK telah menyinggung beberapa poin yang hendak diutarakan kepada rakyat kota Bandung. Pertama, menyoal kesatuan di atas keragaman. Kedua, perlunya pendaulatan Undang-Undang sehingga tidak boleh ada yang menyalahinya. Ketiga, Islam dalam posisinya sebagai Agama tidak relevan dengan pemetaan bahwa masyarakat hendaknya menghargai keragaman. Terakhir, mengupayakan pembenaran soal Demokrasi sebagai standar menilai dan dinding yang memalang datangnya sistem-sistem manapun walaupun merupakan solusi dalam mengentaskan problematika kehidupan.
Berdasarkan empat poin yang ditekankan oleh RK akan pentingnya persatuan, pendaulatan undang-undang, ketidakmampuan Islam dan Demokrasi yang mesti menjadi acuan menunjukkan bahwa RK telah gagal dalam mewujudkan kepemimpinan yang ideal. Mengapa? Karena RK telah menunjukan upaya memaksakan kehendaknya agar diterapkan oleh rakyat kota Bandung menyoal gagasan yang sejatinya tidak menjadi akar yang melandasi masyarakat kota Bandung yakni tentang kesadaran keragaman, undang-undang yang didaulatkan atas nama suara rakyat, sekularisasi termasuk kiblat terhadap demokrasi sebagaimana RK inginkan.
Hal demikian tampak bahwa RK menjadikan gagasan-gagasan berupa keragaman, undang-undang yang mendaulatkan rakyat maupun demokrasi menjadi gagasan yang mengakar dalam pikirannya sehingga harus dipaksakan dalam diri rakyat, sekalipun rakyat tidak ngeh terhadap implementasi gagasan itu apakah sedang dijalani rakyat atau tidak. Hingga tak tanggung-tanggung perkataan “Maka tipe kamu mending pindah negara aja” pun tidak luput dari kemunculannya. Demikianlah, RK menunjukkan arogansinya terhadap rakyat! RK telah berupaya melakukan segmentasi masyarakat berdasarkan pandangan subjektif RK dalam menilai segmentasi mana yang harus diprioritaskan yakni para pendukung yang terus menyanjung RK. Namun ketika muncul koreksi benar dan keras, mestilah dibabad hingga tidak terlihat lagi koreksinya.
Menyoal kesatuan dari masyarakat yang dihuni oleh berbagai segmentasi baik dari segi tingkat kekayaan, agama, ras, keturunan atau pun segmentasi berdasarkan kedudukan apapun merupakan hal yang pasti terjadi. Namun, bila segmentasi itu digunakan tanpa melibatkan keseluruhan lapisan masyarakat tentu saja akan memastikan adanya kepentingan dalam memanfaatkan dasar yang memberikan manifestasi segmentasi masyarakat. Misalnya segmentasi masyarakat berdasarkan agama. Mengapa segmentasi ini diangkat sedangkan pembagian masyarakat berdasarkan tingkat kekayaan tidak pernah dipersoalkan berdasarkan alasan serupa?! Misal saja dari pernyataan RK di atas menunjukkan bahwa kalangan yang membawa agama ke ranah publik tidak menghormati perbedaan. Dalih ini akan sangat tidak rasional dan memiliki lubang besar bagi kepentingan tertentu bila kita sematkan kepada segmentasi masyarakat berdasarkan kelas ekonomi.
Orang kaya yang mengendalikan publik dan melakukan privatisasi di berbagai sektor kehidupan mengapa tidak ditentang sebagaimana kalangan Islam yang baru “ingin”, dan faktanya belum mengendalikan sebagaimana kaum kapital itu menguasai bidang kehidupan? Inilah poin ketidak-adilan dimana rakyat dipaksa untuk mengeneralisir fakta sempit ini untuk diterapkan dalam segmentasi kehidupan lainnya. IRONISNYA apa yang mesti dipaksakan dalam diri rakyat menyoal keberagaman itu, penentangan terhadap hegemoni yang tidak menghormati baik dari sisi ras, agama bila dianalogikan pun sama dengan dari kelas ekonomi tinggi yang menguasai kaum ekonomi lemah, malah RK membuka karpet merah bagi para kapital untuk masuk mengendalikan infrastruktur kota dan berinvestasi di dalamnya untuk mengkapitalisasi kota ditambah otonomi daerah yang memberikan keleluasaan pengaturan itu. Meliberalkan kota, inilah wujud pernyataan yang jauh dari kata fair!
Lagipula mempersatukan masyarakat bukan menyoal saling menghormati, karena upaya memberikan pengertian itu layaklah RK sebagai pemaksa dan berkehendak memaksa. Seolah pandangan RK lah yang menjadi pandangan universal yang diakui sebagai standar agama manapun termasuk Islam. Dalam pengertian ini, Islam harus berstandar pada pandangan RK bukan sebaliknya. Di sinilah Islam telah rontok dari kedudukan yang mendaulatkannya. Namun semestinya RK memahami bahwa persoalan menyatukan masyarakat dengan seabrek perbedaannya berdasarkan pembagian tertentu, tentulah harus memunculkan segmentasi masyarakat yang menjadi standar atas kalangan-kalangan masyarakat lainnya sehingga menjadi acuan kebenaran.
Acuan kebenaran itu tiada lain dengan memastikan kebenaran konsepsi yang tengah berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yang ditandai dengan kultur yang nampak dalam segala interaksi berbagai bidang kehidupan. Namun, jika pemberangusan terhadap segmentasi masyarakat yang hendak dijadikan standar dilakukan, di saat yang sama RK ingin menyamakan masyarakat dengan dalih saling menghormati, atau menghalalkan pluralisme atasnya. Tentulah disini gagasan RK menjadi satu-satunya standar yang mesti dituankan dan dipatuhi untuk menggariskan benar dan salah berdasarkan pandangan RK sekalipun itu adalah agama Tuhan!
Hanya saja, untuk kedua kalinya RK mempertentangkan pernyataan ini dengan pernyataan selanjutnya, bahwa ia menjadikan undang-undang sebagai standar bagi dirinya dalam melahirkan kebijakan. Pernyataannya lugas bahwa “Selama aspirasi rakyat tidak melanggar hukum, pasti diperjuangkan.” Telah menggariskan bahwa kebenaran mutlak harus sesuai dengan undang-undang. Pertentangan ini tampak bahwa semula RK menjadikan dirinya sebagai standar bagi kesatuan masyarakat, namun ironisnya undang-undang lah (yang menjadi dalih) menjadi titik tolak penyeragaman pandangan RK untuk diterapkan atas rakyat. Padahal dengan dalih Demokrasi yang dianutnya, Undang-undang diklaim sebagai wujud dari suara rakyat. Atau dengan istilah suara rakyat adalah suara Tuhan yang menandakan rakyat adalah pemilik kedaulatan. Walaupun klaim tersebut mashyur dalam jagat teori, faktanya justru terjadi pemaksaan dan pembatasan walau dikatakan sebagai suara Tuhan dimana aspirasi dalam demokrasi tak selamanya dikabulkan dengan instan.
Tampaknya ada hubungan yang terputus dari apa yang digambarkan dalam teori tata negara yang ada. Rupanya tempat lahirnya undang-undang di parlemen telah menyeret kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan parlemen, hal demikian dikarenakan penentuan benar dan salah adalah mayoritas parlemen sebagai penentu dilegalkannya aturan. Satu sisi RK menarik subjektivitasnya untuk dipaskakan terhadap rakyat, satu sisi yang lain Undang-undang yang telah mengkhianati rakyat walau dengan demokrasi sekalipun digunakan dalam memaksa rakyat. Alhasil, warga kota Bandung semestinya terperangah dikarenakan konsep kedaulatan yang dialamatkan pada dirinya telah diambil alih dan diboyong ke parlemen daerah (DPRD). Inilah titik di mana antara RK dengan warga kota Bandung dalam keadaan tidak mewakili apa yang diwakili, karena pemaksaan kehendak yang dilakukan sewenang-wenang terhadap kehendak lainnya.
Ada hal yang kontradiksi dengan apa yang dinyatakan di atas baik menilik demokrasi secara teoritis, dan pemanfaatan teori ini oleh Walikota Bandung. Pertama, UU lahir berdasarkan keputusan mayoritas tanpa memperhatikan ras, suku, agama ataupun golongan lain. Kedua, suara mayoritas bersandar pada kepentingan bersama yang merupakan hasil dari irisan kepentingan yang bertemu atas suatu problem dan penyelesaian. Dari poin kedua, dapat dikatakan bahwa undang-undang lahir atas nama kedaulatan rakyat. Akan tetapi, fakta dilapangan, yang membuat undang-undang adalah para wakilnya saja, dalam konteks otonomi ini parlemen daerah telah mewakili warga kota Bandung untuk membuat undang-undang. Namun persoalannya, apa yang menjamin warga kota Bandung terwakili oleh sekelompok anggota DPRD ini sehingga cukup mereka saja yang membuat undang-undang? Dalam hal ini kedaulatan telah dikerucutkan dan telah menjadi rumah hanya bagi anggota parlemen daerah (DPRD).
Maka, RK telah menyalahi apa yang diucapkannya dengan memaksa warga bersatu tanpa dominasi golongan yakni memandang semua golongan benar (pluralisme), namun sistem yang dijalankan RK atas daerah telah menyalahi apa yang diucapkannya itu dengan ‘pencurian’ kedaulatan warga kota Bandung sehingga benar dan tidak benar diboyong mengikuti apa yang dikehendaki sekelompok orang ini, Parlemen Daerah yang tidak berkorelasi mengenai fakta keterwakilan warga oleh anggota Dewan, karena faktanya mereka berkehendak secara keinginan mereka masing-masing. Singkatnya yang terjadi adalah pemaksaan kehendak penguasa terhadap rakyat melalui undang-undang yang ‘melegitimasikan’ atas nama rakyat, padahal ia lahir atas kesepakatan segolongan kecil masyarakat.
Lantas, dengan dalih undang-undang yang tidak mengakomodir suara mayoritas rakyat namun minoritas rakyat saja (parlemen), RK mendiskreditkan kalangan Muslim yang memberikan kritik dan solusi agar keluar dari sistem demokrasi dan merangkul sistem Islam dengan dikatakan untuk pindah negara saja. Sangatlah tidak adil RK mengatakan hal demikian! Jika RK mengatakan negeri ini kesepakatannya adalah demokrasi, maka 100% pernyataan itu adalah klaim, mengapa? Karena tidak ada bukti sedikitpun seluruh rakyat Indonesia turut serta dalam mengundang-undangkan kehendaknya melainkan sekelompok orang yang melegitimasikan dirinya atas nama rakyat. Termasuk kesepakatan pengadopsian Demokrasi itu.
Terbukti dengan adanya kalangan individu yang mengkritik terhadap RK bahwa demokrasi bertentangan dengan hukum Islam, hal ini seharusnya dipandang dan menunjukkan bahwa negeri ini belum bersepakat bulat mengenai sistem pemerintahan yang harus dipilih, apabila RK mau adil memandang individu yang berpendapat sebagai bagian dari manusia yang lahir di Indonesia. Karena, ia lahir di Indonesia bukanlah kesalahan dia, karena RK semestinya tau bahwa lahirnya manusia dengan berbagai keadaannya, tempat dimana ia lahir merupakan suatu ketentuan yang di luar kemampuan manusia.
Jikalau RK memaksakan agar setiap orang yang tidak bersepakat atas pilihan sistem pemerintahan ini untuk pindah keluar dari Indonesia, seharusnya RK membuat kebijakan mengenai Setiap Orang Yang Anti-Demokrasi Maka Dilarang Lahir. Begitulah logika yang menentang ketentuan Allah SWT, karena seharusnya dimana manusia lahir di situlah ia berhak untuk hidup karena Bumi dan seisinya dimiliki oleh PemilikNya, PenciptaNya yang semestinya menjadi sumber undang-undang bukan diputus oleh kesewenang-wenangan manusia, pemerintah, parlemen maupun RK.
Maka, pernyataan terakhir RK menyoal Demokrasi harus dibarengi dengan nalar, sesungguhnya nalar yang dimaksud telah terkooptasi oleh teori-teori destruktif demokrasi. Yang dimana nalar harus menerimanya. Adapun analogi yang dimaksudkan RK tiada lain analogi yang dapat masuk ke dalam analogi yang negatif, karena analogi tersebut tidak membatasi mana yang benar dan mana yang salah melainkan analogi yang dijadikan pembenaran akan sistem rusak demokrasi. Jika boleh dibuat, analogi tersebut dapat sejalan dengan bentuk seperti ini:
“Jika satu rombongan disuruh membuka Lokalisasi, tapi mayoritas protes, terus gak jadi karena aspirasi itu mayoritas?” nah, dapatlah dilihat mengenai perspektif lokalisasi ini, baik menurut siapa dan buruk menurut siapa? Yang faktanya semuanya dikembalikan kepada kemanfaatan, karena suara mayoritas bersandar pada kemanfaatan dan di saat yang sama berjalannya demokrasi menyalahi kedaulatan rakyat sebagaimana diteorikan, maka lengkaplah Penguasa tengah memiliki kepentingan dirinya sendiri dalam memerintah karena kemanfaatan PASTI dipandang mengikuti kepentingan dirinya sendiri bukan rakyat, bukan pula mewakili kepentingan rakyat. Inilah ambiguitas pernyataan RK dan kerancuan demokrasi sehingga tidak relevan dalam mengkritik Islam yang dengan kemampuannya secara lugas dapat menjawab pengaturan urusan umat.
Pandangan GEMA Pembebasan:
Ridwan Kamil Harus Belajar Ideologi Islam untuk Menyelamatkan Warga Kota Bandung
Kami pengurus GEMA Pembebasan Kota Bandung menyadari betul bahwa umat Islam adalah ummatan washatan yang menjadi umat pertengahan yakni umat yang menjadi standar atas umat-umat yang lain atau dapat dikatakan segmentasi masyarakat yang menjadi standar atas segmentasi masyarakat lainnya. Hal tersebut karena indikator pemikiran yang diadopsinya adalah pemikiran yang benar dan rasional yakni Aqidah Islam. Jika RK memahami demikian, tentulah pernyataan bahwa ‘menyatukan keragaman’ untuk dipaksakan ke dalam bejana pandangannya yang terkooptasi oleh teori demokrasi dimana fakta menyalahi demokrasi itu sendiri semestinya tidak keluar dalam statement RK. Apalagi mengeliminasi umat Islam sebagai umat yang menjadi standar atas umat lainnya dengan menjadikan kehendak dewan sebagai standar kebenaran yang faktanya kebenaran itu pun berbasis pada kemanfaatan individual dan irisan kepentingan kelompok. Jika hal itu dibenarkan, maka terjadi pembenaran terhadap perbudakan dalam sistem pengaturan politik di Kota Bandung.
Kedudukan umat Islam dan benarnya Aqidah Islam semestinya dengan tegas menjadi panduan RK dalam memandang mana yang benar dan mana yang salah. Kritik dan aspirasi dari kalangan Muslim justru harus didengar bukan karena siapa orangnya tapi bagaimana pemikirannya. Ketika disebutkan bahwa “Demokrasi bertentangan dengan Islam” maka jangan mendiskreditkan orangnya sehingga berdampak mendiskreditkan pemikirannya yakni Islam itu sendiri, karena pemikirannya menurut Kami telah sejalan dengan apa yang diserukan oleh Allah dalam Al-Quran. Misalnya:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS at-Taubah [9]: 31).
Atau
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ
Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia (QS Yusuf [12]: 40)
Demikian faktanya, pandangan yang benar itu adalah apa-apa yang mengikuti Aqidah Islam, maka seharusnya RK memandang demikian, dan menjadikan Aqidah Islam sebagai poros dalam menjalankan kepemimpinannya. Dan ketika RK ingin menjadikan Aqidah Islam sebagai poros politiknya dan menjalankan kekuasaannya berdasarkan Aqidah Islam dan menjadikan Umat Islam sebagai umatan washatan dalam realitas politik, maka konsekeunsinya RK harus berpolitik di atas Politik Islam dan berjalan di atas Sistem Pemerintahan Islam. Karena, Demokrasi tidak pernah menghendaki aqidah Islam sebagai poros aktivitas politiknya, melainkan kompromi dan irisan kepentingan belaka dimana kompromi tersebut telah memutus keterwakilan rakyat dengan penguasa.
Dengan demikian, Pengurus Daerah GEMA Pembebasan Kota Bandung memberikan sikap atas cuitan twitter oleh Walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil (RK) :
Atas nama,
Pengurus Daerah Kota Bandung.
Indra Lesmana
(Ketua GEMA Pembebasan Kota Bandung)