PRESS REALEASE
PENGURUS PUSAT KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA
TOLAK RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL
DPR RI, 26 AGUSTUS 2019
Dengan ini Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menyatakan penolakan pengesahan RUU P-KS karena sarat dengan nilai liberalisme yang mengabaikan Pancasila, ketahanan keluarga, agama dan moralitas bangsa Indonesia.
Pandangan KAMMI setidak-tidaknya diturunkan dalam poin-poin sebagai berikut:
1) RUU P-KS dengan sengaja mengabaikan falsafah Pancasila dan UUD N RI 1945 seraya mengambil falsafah feminisme.
- Sehingga RUU P-KS, di bawah term “Kekerasan Seksual” mengandung kekeliruan yang sangat fatal dalam merumuskan “siapa korban dalam pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan”.
- Pelacur sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual karena menyuburkan zina di tengah-tengah masyarakat.
- Pezina sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual karena merusak tatanan kekeluargaan.
- Pelaku penyimpangan seksual sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual yang menjadi penyakit masyarakat.
- RUU P-KS mengabaikan konteks dimana seseorang dapat saja merupakan pelaku kenakalan atau kejahatan seksual sebelum menjadi korban. Seharusnya pemberantasan terhadap pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan dalam masyarakat mempertimbangkan akar dari adanya kekerasan seksual yaitu kebobrokan moral dan rentannya ketahanan keluarga.
- Hal ini karena RUU P-KS tidak memuat agama dan moral sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 J UUD N RI 1945 sebagai asas penegakan hukum sehingga konsep pemidanaannya hanya bertumpu pada kejadian akhir dari suatu situasi kejahatan pada nilai kesusilaan di dalam masyarakat.
- Pengabaian ini pada kelanjutannya merupakan upaya untuk menancapkan pemahaman feminisme yang tidak sesuai dengan Pancasila, sebagaimana tergambarkan dalam Naskah Akademik-nya.
- Selanjutnya Naskah Akademik RUU P-KS tidak menginginkan adanya penerapan kausalitas hukum dalam proses penyidikan. Ini merupakan penerapan dari paham permisif yang mendobrak penemuan fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Dalam kasus pemaksaan aborsi misalnya, penentuan bahwa seseorang melakukan aborsi karena pemaksaan seseorang, dimungkinkan hanya berbasis keterangan satu sisi pelaku aborsi. Hal ini sangat mungkin menjadi alat bagi pelaku aborsi untuk menghindari jeratan hukum berdasarkan UU tentang Kesehatan.
2) RUU P-KS memuat kata-kata ambigu yang berbahaya dalam penafsiran hukumnya, yang sebagian di antaranya sebagai berikut:
Perbuatan lainnya
|
Biaya lainnya yang diperlukan
|
Hasrat seksual
|
Dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh Korban
|
Relasi kuasa
|
Keluarga dan kelompoknya
|
Relasi gender
|
Hak penguatan psikologis
|
Relasi
|
Pendamping lain
|
Gender
|
Berspektif hak asasi manusia dan gender
|
Korporasi
|
Dokumen
|
Saksi
|
Kepentingan terbaik
|
Kepentingan terbaik
|
Penyidik menghitung untuk menentukan jenis dan jumlah Ganti kerugian bagi Korban
|
Lingkungan bebas kekerasan seksual
|
Situasi khusus lainnya
|
Organisasi bantuan hukum
|
Perbudakan seksual
|
Dsb…
|
Menimbang banyaknya kata-kata ambigu di atas, naskah RUU P-KS tidak layak untuk diterapkan sebagai naskah hukum yang seharusnya lugas dan tidak multitafsir.
3) Salah satu hal yang paling mencengangkan adalah Pasal 136 RUU P-KS yang menyebutkan bahwa korporasi dapat dipidana ganti kerugian karena melakukan kekerasan seksual. Persoalaannya, korporasi yang dimaksud di dalam RUU P-KS adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum.
- Pertama, korporasi dalam hukum bisnis sudah pasti berbadan hukum karena kekayaan yang terorganisasi secara terpisah dari orang per orang hanya dapat dilakukan oleh badan hukum. Mengapa RUU P-KS memuat definisi yang tidak lazim lewat kata-kata bersayap?
- Kedua, tidak ada korporasi berbadan hukum yang dapat secara sengaja didirikan untuk melakukan perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan karena sudah pasti menyalahi kausa halal dalam hukum perdata Indonesia.
- Ketiga, korporasi dalam makna yang sesuai dengan definisi dalam RUU P-KS di atas paling mungkin di-implementasikan pada industri gelap seperti prostitusi.
- Sehingga penafsiran hukum atas Pasal 136 sangat logis diterapkan sebagai perlindungan bagi para pelacur yang bekerja di “korporasi” demikian. Dalam hal kasus demikian menjadi preseden peradilan, bukan tidak mungkin Indonesia digiring untuk melegalkan Industri perzinaan melalui RUU ini.
4) RUU P-KS mengabaikan ketahanan keluarga.
- RUU P-KS hanya melihat kejadian pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan sebagai peristiwa hukum yang terpisah dari struktur ketatamasyarakatan organik Indonesia.
- Pengabaian terhadap institusi keluarga turut pula menafikan nilai-nilai kehidupan yang berakar urat dalam masyarakat Indonesia.
5) RUU P-KS berpotensi menyuburkan penyimpangan seksual (LGBTQ) dan perzinaan.
- Bertolak belakang dengan jangkauan penegakan hukumnya yang begitu luas pada aspek pencegahan, pemidanaan, peradilan, dan pemulihan, RUU P-KS sengaja menyempitkan materi pengaturan pada kekerasan seksual.
- Sehingga sistem hukum yang terkait pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan hanya akan menyempit pada perspektif kekerasan seksual.
- Konsep sistem hukum yang dimuat dalam RUU P-KS meniadakan konsep “kausa halal” karena unsur “paksaan” menjadi variabel utama dalam mendefinisikan telah terjadinya perbuatan kriminal pada kesusilaan.
- RUU P-KS pada keseluruhannya akan mengacaukan penafsiran hukum atas perbuatan yang halal dan tidak halal menurut hukum. Dalam hal pelacuran dengan paksaan maka tidak diperbolehkan, dalam hal pelacuran tidak paksaan maka diperbolehkan.
- RUU P-KS merumuskan bahwa “saksi adalah orang yang mendengar dari korban”, bukan hanya yang melihat, mendengar dan menyaksikan sendiri suatu peristiwa hukum. Hal ini menyalahi logika hukum yang menghendaki adanya validitas fakta hukum.
6) RUU P-KS memuat aspek pendidikan yang berbahaya bagi generasi masa depan bangsa.
- Konsep bobrok yang tergambarkan sebagaimana di atas merupakan bahan kurikulum pendidikan yang pada kelanjutannya harus dimuat di bawah RUU P-KS.
- Kurikulum pendidikan dalam konteks kekerasan seksual ini sangat berbahaya karena tidak mempersoalkan mana perbuatan seksualitas yang dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan karena hanya bertumpu pada keberadaan “persetujuan” yang dipisahkan dari tuntunan agama dan moral.
Sehingga tuntutan di dalam Aksi ini adalah untuk “MENOLAK PENGESAHAN RUU P-KS” dan “MENDESAK PANJA RUU P-KS DI KOMISI 8 DPR RI UNTUK MENIADAKAN PEMBAHASAN RUU P-KS”.
Direktur Lembaga Kajian Hukum KAMMI
Mira Fajri
|
Ketua Bidang Perempuan PP KAMMI
Reviana Revitasari
|
Ketua Umum PP KAMMI
Irfan Ahmad Fauzi
|