Tanggapan Terhadap Polemik Mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru Masehi
بسم الله الرحمن الرحيم
Sehubungan dengan perayaan Natal tgl 25 Desember dan Tahun Baru Masehi yang akan diperingati oleh umat Kristen dan adanya fenomena sebahagian umat Islam yang memberikan ucapan selamat Natal dan tahun baru Masehi dan yang membolehkannya sehingga menimbulkan polemik di antara umat Islam dan yang merayakan Natal dan Tahun Baru Masehi dengan memakai atributnya atau mengikuti perayaannya seperti yang terjadi pada setiap tahunnya, maka saya sebagai seorang muslim ingin memberikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama: Sangat menyayangkan perilaku sebahagian muslim yang memberikan ucapan selamat hari raya agama lain seperti selamat Natal, Tahun Baru Masehi, Valentine, Nyepi, Waisak dan lainnya, atau memakai atributnya atau mengikuti perayaannya, dan orang yang membolehkan ucapan selamat Natal dan lainnya tersebut serta orang yang menjaga gereja dengan alasan toleransi agama.
Kedua: Islam merupakan agama yang toleran. Toleransi dalam Islam hanya berlaku dalam persoalan muamalah (hubungan sosial atau keduniaan) dan kebebasan beragama serta kebebasan menjalankan agama. Bukan dalam persoalan aqidah dan ibadah. Maka tidak boleh mengikuti ibadah dan aqidah agama lain. Ini toleransi diajarkan oleh Alquran (QS. Al-Kafirun: 1-6 dan Al-Mumtahanah: 8-9) dan As-Sunnah.
Ketiga: Rasulullah saw bersikap toleransi kepada orang-orang Yahudi di Madinah dengan membiarkan mereka hidup aman dan berdampingan dengan umat Islam, tidak memaksa mereka masuk Islam dan tidak melarang ibadah dan keyakinan mereka. Beliau saw tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain dan tidak pula mengikuti ibadah dan aqidah agama lain. Bahkan melarangnya. Begitupula para sahabat radhiyallahu 'anhum. Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang menyerupai (mengikuti ibadah dan aqidah) suatu kaum, maka dia bagian dari mereka". (HR. Abu Daud).
Keempat: Sikap toleransi agama yang benar adalah menghormati pemeluk agama lain, memberikan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, dan hidup dengan aman dan damai. Inilah toleransi yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Adapun mengucapkan selamat hari raya agama lain seperti selamat Natal dan lainnya atau merayakannya dengan memakai atributnya atau mengikuti perayaannya itu bukan toleransi yang benar dan dibolehkan dalam Islam. Ini toleransi yang salah dan melampaui batas.
Kelima: Meminta umat Islam untuk tidak mengucapkan selamat hari raya agama lain seperti selamat Natal, Tahun Baru Masehi, Valentine, Nyepi, Waisak dan lainnya atau memakai atributnya atau mengikuti perayaannya, karena semua itu bertentangan dengan Alquran dan As-Sunnah serta ijma' (kesepakatan) para ulama salaf. Ini perbuatan maksiat dan kemungkaran yang wajib ditinggalkan dan dijauhi oleh umat Islam.
Keenam: Mengucapkan selamat hari raya agama lain seperti selamat Natal, tahun baru Masehi, Valentine, Nyepi, Waisak dan lainnya atau memakai atributnya atau mengikuti perayaannya itu bukanlah perkara yang masuk dalam ranah toleransi yang dibenarkan dalam Islam. Karena itu, kami ingatkan berbagai pihak agar menghargai dan menghormati ajaran Islam. Jangan mengukur toleran atau tidak toleran dengan mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat Natal atau selamat atas hari raya agama apapun.
Ketujuh: Mengucapkan selamat hari raya agama lain seperti selamat natal, tahun baru masehi, valentine, nyepi, waisak, dan lainnya atau merayakannya dengan memakai atributnya atau mengikuti perayaannya itu berarti pengakuan kebenaran terhadap agama tersebut. Ini membahayakan dan merusak aqidah seorang muslim. Karena adanya kekufuran, kesyirikan, dan pengagungan terhadap syiar agama lain. Maka hukumnya haram dan bisa membatalkan keislaman seseorang berdasarkan Alquran, As-Sunnah dan ijma' para ulama salaf.
Kedelapan: Memberikan apresiasi dan dukungan terhadap fatwa MUI Jawa Timur, MUI Sumatera Barat dan para ulama lainnya yang mengharamkan mengucapkan selamat hari raya agama lain seperti Natal, tahun baru Masehi, Valentine, dan lainnya, merayakannya dengan memakai atributnya atau merayakanya bersama serta fatwa MUI Pusat yang mengharamkan perayaan Natal bersama dan memakai atributnya. Tugas ulama adalah mengawal aqidah umat dan memberikan pemahaman agama yang benar kepada umat sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah. Inilah ulama yang benar dan istiqamah yang wajib diikuti oleh umat.
Kesembilan: Mengingatkan kepada pihak non muslim, khususnya yang memiliki pekerja atau pegawai umat Islam, untuk tidak memaksakan umat Islam untuk merayakan hari raya agama mereka seperti Natal, Tahun Baru Masehi, Valentine, Nyepi, Waisak dan lainnya dengan memakai atributnya atau mengikuti perayaaannya. Sikap pemaksaan ini melanggar toleransi beragama dan hukum di Indonesia. Maka bisa dipidanakan.
Kesepuluh: Meminta umat Islam tidak menyibukkan kepada hal-hal yang tidak perlu dan bukan tugasnya, bahkan bisa merendahkan diri umat Islam dan izzah Islam seperti menjaga gereja pada waktu perayaan natal. Ini memalukan. Kok gereja yang dijaga, bukan masjid. Siapa yang akan serang gereja? Ini terkesan melecehkan Islam dan umat Islam dengan tuduhan radikal dan intoleransi. Padahal, masalah keamanan itu tugas kepolisian.
Kesebelas: Terakhir, Mengajak umat Islam taat kepada Alquran dan As-Sunnah serta para ulama sesuai perintah Allah Swt (QS: An-Nisa: 59) dan menjaga aqidahnya dengan tidak mengucapkan selamat hari raya agama lain seperti selamat natal, tahun baru Masehi, Valentine, Nyepi, Waisak dan lainnya. Begitu pula tidak memakai atributnya atau merayakannya.
Banda Aceh, 24 Desember 2019.
Ttd
(Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA)
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Dosen Fakultas Syari'ah UIN Ar-Raniry, Alumnus Fakutas Syari'ah Universitas Islam Madinah (UIM) Arab Saudi, Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara