View Full Version
Kamis, 09 Apr 2015

Peserta Konferensi Asia-Afrika Harus Tentang Penjajahan Baru Amerika Serikat

BANDUNG (voa-islam.com) - Pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) pertama pada 18-24 April 1955 hadir perwakilan 29 negara di Bandung, Jawa Barat. KAA itu menghasilkan sepuluh kesepakatan strategis yang kelak dikenal sebagai Dasasila Bandung. Kesepakatan itu berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha-usaha memajukan perdamaian dunia, keadilan sosial, dan kerja sama antar-bangsa.

Butir pertama dari sepuluh butir Dasasila Bandung menyatakan, menghormati hak dasar manusia seperti tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kedua: menghormati kedaulatan dan integritas semua bangsa. Ketiga: menghormati dan menghargai perbedaan ras serta mengakui persamaan semua ras dan bangsa di dunia. Keempat: tidak campur tangan dan intervensi persoalan dalam negeri negara lain. Kelima: menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri, baik sendiri maupun kolektif, sesuai Piagam PBB.

Keenam: tidak menggunakan peraturan dari pertahanan kolektif dalam bertindak untuk kepentingan suatu negara. Ketujuh: tidak mengancam dan melakukan tindak kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara. Kedelapan: mengatasi dan menyelesaikan segala bentuk perselisihan internasional melalui jalan damai dengan persetujuan PBB. Kesembilan: memajukan kepentingan bersama dan kerja sama. Kesepuluh: menghormati hukum dan juga kewajiban internasional.

Menurut Hendrajit, pengamat politik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute, lembaga pengkajian politik luar negeri yang berbasis di Jakarta, Dasasila Bandung merupakan sebuah mahakarya atau opus magnum yang berhasil dicapai oleh para pencetus dan perintis KAA di Bandung 60 tahun lalu. Dasasila Bandung merupakan sebuah landasan untuk menggalang solidaritas dan persekutuan strategis negara-negara Asia-Afrika, untuk menghadapi berbagai persoalan baik yang berskala regional maupun internasional.

“Dasasila Bandung telah menawarkan sebuah gagasan alternatif di luar dua kutub yang sedang bertarung saat itu, yaitu blok Barat yang dimotori Amerika Serikat dan sekutunya dari Eropa Barat dengan blok Timur yang dimotori Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Spirit Dasa Sila Bandung ini merupakan landasan ideologis bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam melawan kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya,” ungkap Hendrajit dalam siaran pers-nya.

Gerakan solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika melalui KAA April 1955 di Bandung dan kemudian dikembangkan melalui Gerakan Negara-Negara Nonblok (GNB) pada 1961 di Beograd, Yugoslavia, lanjut Hendrajit, masih penting dan punya relevansi yang kuat untuk dikembangkan sekarang ini. Karena, sebagaimana diperingatkan oleh Bung Karno pada pidato pembukaan KAA di Bandung, kolonialisme dan imperialisme masih berlangsung hingga saat ini, meski dalam bentuk baru berupa neo-imperialisme dan neo-kolonialisme di bidang ekonomi dan kebudayaan.

“Karena itu, negara-negara berkembang yang notabene merupakan negara-negara yang berada di kawasan Asia-Afrika dan tergabung dalam KAA dan GNB hendaknya terus berjuang dan melakukan perlawanan secara gencar dan intensif, untuk menentang kolonialisme dan imperialisme yang dimotori oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang tergabung dalam Uni Eropa,” tuturnya.

Karena, kenyataan saat ini, sumber daya alam dan sumber daya manusia negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika, dieksploitasi secara tidak adil untuk kepentingan negara-negara maju. “Untuk itu, negara-negara berkembang, khususnya yang tergabung dalam KAA, harus menentang dan mengecam keras kondisi internasional yang tidak adil akibat serangkaian kebijakan ekonomi dan militer dari negara-negara maju yang menyebabkan timbulnya kondisi internasional yang tidak adil tersebut,” tutur Hendrajit.

Kalau dicermati perilaku geopolitik Amerika Serikat dan sekutunya, tambahnya, ada kecenderungan kuat untuk mendorong situasi global ke arah kutub tunggal (monopolar). Hendrajit pun mengkritik penggunaan kekuatan militer terhadap negara-negara berkembang.

Melihat dengan saksama terjadinya invasi militer Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003, Herndrajit berpandangan penggunaan kekuatan militer terhadap negara-negara berkembang tanpa seizin Dewan Keamanan PBB hingga saat ini masih tetap berlangsung. Dan, itu melanggar hak asasi manusia dan pelanggaran kedaulatan negara sebagaimana tercantum dalam prinsip-prinsip Dasasila Bandung dan GNB.

Hendrajit pun menghimbau para peserta KAA Ke-60 di Bandung pada 19-24 April 2015 mendatang harus mengeluarkan kecaman keras terhadap kebijakan penggunaan kekuatan bersenjata atau militer yang bertentangan dengan Dasasila Bandung.

“Para peserta KAA secara khusus harus mengutuk kebijakan penggunaan kekuatan bersenjata atau militer yang dimotori Amerika Serikat dan sekutunya yang tergabung dalam North Atlantic Treaty Organization atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara di Afghanistan, Irak, Suriah, Lebanon,Yaman, dan Serbia. Senapas dengan spirit Dasasila Bandung, seluruh konflik internasional yang berlangsung harus diselesaikan melalui sarana diplomasi, tanpa penggunaan kekuatan bersenjata,” katanya.

Hendrajit juga mengungkapkan, negara-negara berkembang harus berperan aktif di dunia internasional untuk mengatasi krisis internasional yang berlangsung saat ini, sebagaimana yang sudah dilakukan para kepala negara/pemerintahan negara-negara Asia-Afrika pada KAA 1955. Segala bentuk perselisihan internasional harus dilakukan melalui jalan damai dengan persetujuan PBB.

Para peserta KAA Ke-60, lanjut Hendrajit, harus mendesak PBB berperan aktif dalam mengakomodasikan semua aspirasi negara-negara berkembang yang merasa dirugikan, khususnya yang telah menjadi korban kebijakan penggunaan kekuatan bersenjata yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Lebanon, dan Serbia.

“Para peserta KAA Ke-60 harus mengecam dan mengutuk Amerika Serikat dan sekutunya yang tergabung dalam NATO, agar menghormati tata hubungan internasional berdasarkan hak kedaulatan suatu negara dan hak asasi manusia,” tutur Hendrajit.

Dengan adanya tren ke arah kutub tunggal yang dimotori Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, Indonesia dan negara-negara yang hadir dalam KAA Ke-60 seharusnya mengajukan skema multipolar. Dengan demikian tercipta tata dunia baru yang lebih adil bagi kepentingan nasional Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya.

Selain itu, para peserta KAA Ke-60 harus mengeluarkan sebuah pernyataan sikap resmi yang dikeluarkan melalui sebuah memorandum yang ditandatangani seluruh ketua delegasi peserta KAA dan terdokumentasi sebagai output atau hasil-hasil penting yang disepakati seluruh peserta KAA.

“Inilah misi utama para peserta KAA Ke-60. Dengan begitu, apa yang telah dirintis dan dilakukan para pendiri KAA Bandung pada 1955 bisa dilanjutkan terus. Karena, krisis internasional yang berlangsung pasca-Perang Dingin terkait dengan kolonialisme dan imperialisme sejatinya hingga saat ini masih tetap berlansung, meskipun dalam bentuk baru dan modus baru,” kata Hendrajit.

Jika para peserta KAA Ke-60 tidak melakukan misi tersebut atau dengan sadar mengabaikan kondisi internasional yang tidak adil dan eksploitatif, katanya lagi, sia-sialah perjuangan para pendiri KAA 1955 dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. [pur/pribuminews/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version