JAKARTA (voa-islam.com) - Pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) April lalu, di sela-sela perhelatan KAA Presiden Joko Widodo dan Presiden Republik Rakyat Cina sempat melakukan pembicaraan mengenai proyek infrastruktur besar-besaran yang akan digarap di era Jokowi-JK.
Dalam pertemuan itu disepakati bahwa Cina akan ikut menanamkan investasi dalam proyek infrastruktur tersebut. Bukan hanya sebagai pemodal tambahan, bahkan menjadi pemodal utama. Tentu saja, dengan deal-deal bahwa mereka juga ikut dalam penggarapannya.
Di situs Sekretariat Kabinet tertulis, proyek infrastruktur yang menggandeng Cina, diantaranya: pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 mega watt (MW). Cina juga akan terlibat dalam pembangunan jalur kereta api super cepat Jakarta – Bandung dan Jakarta – Surabaya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Sebelas Maret Surakarta Agung Prabowo sempat menghawatirkan kebijakan Jokowi yang menyerahkan hampir semua proyek-proyek penting kepada Cina. Karena menurutnya, selama ini, beberapa pengadaan barang dan jasa yang melibatkan Cina seringkali bermasalah. Seperti pada proyek pembangkit listrik yang tidak mampu menghasilkan listrik secara maksimal, juga pengadaan bus Trans Jakarta yang ternyata komponennya banyak yang usang.
Kebijakan pemerintah yang tampak sangat ‘bersahabat’ dengan Cina ini menjadikan Jepang merasa tersingkirkan. Seperti pada proyek kereta cepat yang menjangkau Jakarta-Bandung-Cirebon-Surabaya, dimana sedianya proyek tersebut akan digarap oleh perusahaan Jepang, beserta pinjaman lunak sebesar USD 1.6 Miliar untuk biaya proyek tersebut. Akan tetapi tampaknya dalam perkembangan terakhir, proyek tersebut akan diserahkan kepada perusahaan Cina.
Bagaimanapun, Indonesia harus berhati-hati ketika bekerjasama dengan negara tirai bambu ini. Bermain dengan Cina ibarat menari bersama serigala, yang suatu saat sangat mungkin untuk memangsa
Sebenarnya keputusan pemerintah untuk bekerjasama dengan Cina, menyingkirkan Jepang cukup masuk akal. Sebab selama berpuluh tahun kerjasama ekonomi dengan Jepang, seperti dalam bidang otomotif, tidak pernah Jepang mau melakukan transfer teknologi kepada teknisi-teknisi Indonesia. Jepang cenderung ingin untung terus, menjadikan Indonesia sebagai ladang uangnya. Bukan kerjasama yang membangun. Indonesia hanya dijadikan pasar, tidak pernah diberikan kesempatan untuk menjadi produsen. Dan secara sembunyi, berusaha menggembosi kalau ada produk-produk otomotif dalam negeri.
Akan tetapi, kerjasama yang merupakan implementasi dari hubungan erat dengan Cina pun harus benar-benar diwaspadai, karena perlu diingat, bahwa kekuatan ekonomi Cina berada pada ekspornya. Kekuatan ada di luar negaranya. Dimana sangat mungkin bahwa dibalik deal-deal dengan Indonesia tersebut, juga ada deal-deal yang menyasar Indonesia untuk “patuh” menjadi pasar mereka.
Persaingan antara Cina dan Jepang dalam menggarap proyek-proyek besar di Indonesia juga negara-negara lain, tidak terlepas dari perekonomian Cina yang mulai menjadi pemain utama di kawasan. Secara perlahan menyingkirkan dominasi Jepang dalam hal investasi dan eksekusi proyek.
Hal tersebut juga tampak dari rencana Cina untuk membangun Bank Multinasional bernama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Cina mengajak banyak negara untuk bergabung dalam Bank yang akan menjadi saingan Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank). Dan diantara negara yang menyatakan siap bergabung adalah Indonesia, Jerman, Inggris, Italia, Perancis, Australia, Korea Selatan, Brazil, dan Rusia.
Padahal Jepang adalah salah satu negara pemodal utama dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, tentu saja rencana berdirinya AIIB tersebut menghawatirkan Jepang. Karena berarti harus berbagi wilayah jajah investasi. Bersaing dalam menjadi rentenir. Bersaing dalam menjadikan Bank sebagai daya tawar intervensi kebijakan di negara-negara penghutang.
Melihat rencana pendirian Bank kelas dunia yang dimotori oleh Republik Rakyat Cina tersebut, tampaknya Joko Widodo dan pembantu dapat membaca kesempatan yang bisa dimainkan. Mumpung masih baru mau berdiri. Dimana Cina membutuhkan kepercayaan negara-negara dunia untuk bisa dianggap mampu bersikap profesional dalam mengelola AIIB kedepannya.
Dalam hal ini tampak spekulasi Jokowi dan ekonomnya untuk memanfaatkan keadaan, dimana Cina membutuhkan image baik, dengan begitu diharapkan tidak akan main-main dalam mendanai proyek infrastruktur raksasa di Indonesia.
Tapi bagaimanapun, investasi selalu berkelindan dengan eksekusi. Nah, walaupun seandainya investasi dari pihak Cina lancarpun, apakah menjamin bahwa proyek garapan mereka akan baik. Karena terbukti dengan proyek-proyek sebelumnya yang mereka garap di Indonesia, selalu saja ada cacatnya. Seperti proyek pembangkit listrik dan Trans Jakarta diatas. Lalu, untuk apa keluar banyak biaya kalau hanya menghasilkan sampah belaka.
...disaat PKI akan melakukan pengkhianatan terhadap republik, yang syukurnya gagal; dimana Cina juga menjanjikan untuk membantu mereka dalam apa yang mereka sebut ‘revolusi’ namun juga hanya sekedar janji, dan ternyata dikhianati
Belum lagi, kalau kemudian ternyata tidak seperti dugaan semula, bahwa dalam bisnis besar kali ini Cina akan main bersih untuk menjaga imagenya. Tapi jusstru melakukan intervensi-intervensi kebijakan yang dapat merugikan Indonesia kedepannya, seperti keleluasaan produk-produk Cina untuk masuk ke Indonesia, dan lain sebagainya. Dengan ancaman proyek yang sedang berjalan akan mangkrak kalau tidak diberikan permintaannya. Atau mempersulit kucuran dana, sebagaimana pernah dimainkan IMF saat menekan Indonesia jaman krisis moneter ’98 lalu.
Bagaimanapun, Indonesia harus berhati-hati ketika bekerjasama dengan negara tirai bambu ini. Bermain dengan Cina ibarat menari bersama serigala, yang suatu saat sangat mungkin untuk memangsa. Dalam sejarahnya, telah berkali Indonesia dikhianati negara tersebut. Seperti gagalnya konfrontasi “Ganyang Malaysia" yang disamping karena permasalahan internal negara, juga disebabkan janji Cina untuk membantu Indonesia ketika dikeroyok Malaysia, Inggris dan Australia. Namun sekedar janji yang ternyata dikhianati.
Juga disaat PKI akan melakukan pengkhianatan terhadap republik, yang syukurnya gagal; dimana Cina juga menjanjikan untuk membantu mereka dalam apa yang mereka sebut ‘revolusi’ namun juga hanya sekedar janji, dan ternyata dikhianati. [abp/arb/aryo/pribuminews/voa-islam.com]