View Full Version
Selasa, 30 Jun 2015

Guru Besar UI: Banyak Kalangan Akademisi yang Jumud dan Fanatik dengan Mazhab Keilmuwannya

DEPOK (voa-islam.com) - Guru besar ilmu komunikasi dan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Indonesia (UI), Prof. Ibnu Hamad menyatakan kritiknya terhadap sekularisasi ilmu serta kalangan yang gemar mensakralkan teori-teori keilmuan.

“Buah dari sekularisasi ilmu, banyak yang mensakralkan ilmu pengetahuan, seperti ‘makhluk suci’ yang tidak pernah salah,” ujarnya, dalam kajian filsafat Islam, oleh lembaga pemikiran dan filsafat Islam, DISC UI, Selasa (23/6) pekan lalu, di Masjid Ukhuwah Islamiyah, UI, Depok.

Guru besar FISIP UI tersebut juga menyatakan, selain buah dari sekularisasi ilmu, hal itu juga akibat dari doktrin obyektivitas ilmu pengetahuan.

“Saking bangga dengan teori dari gurunya atau mazhabnya, bahkan ada yang sampai membenci kitab suci agamanya, mungkin karena merasa ilmu pengetahuannya sudah banyak dan fanatis pada mazhab keilmuwan (sekular), mengakibatkan di antara mereka enggan terhadap Al-Quran dan Sunnah,” terang dosen yang pernah menjadi jubir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tersebut.

Ilmu itu teori, teori itu disusun manusia yang ada kemauan dan kepentingannya. Teori adalah buah ramuan dari mazhab-mazhab (keilmuwan), data dan bahasa.

“Jangan salah, kaum fanatik dan jumud bukan hanya kalangan agama, tapi banyak akademisi dari dosen maupun mahasiswa yang fanatik dengan mazhab keilmuwannya, dia alumni Amerika, maka akan fanatik dengan mazhab-mazhab keilmuwan di Amerika, misalnya mazhab Chicago, atau di ilmu-ilmu sosial ada mazhab dari Eropa, mazhab Frankfurt misalnya,” jelasnya, pada puluhan hadirin yang mengikuti sajian filsafat Islam di Masjid yang menjadi simbol aktivitas keislaman UI tersebut.

...sebagai sarjana yang beragama, sudah sepatutnya mengakui bahwa kebenaran yang paripurna hanyalah datang dari petunjuk Allah SWT, bukan dari theorizing semata

Sebagai contoh Ibnu Hamad menguraikan mazhab Konstruktivisme yang berasas akan keyakinan dari diri sendiri. Akademisi mazhab Kostruktivisme misal akan berujar “akhirat tidak ada karena aku mengatakannya (meyakininya) tidak ada.”

Sedangkan mazhab Konstruktivisme sosial, meyakini dari pandangan sosial secara kolektif, mereka akan berujar, “akhirat tidak ada karena orang-orang mengatakannya (meyakini) tidak ada.” Maka para akademisi pun tidak luput dari kejumudan, fanatisme dan tidak kekritisan, ini juga menjadi hal yang sangat disayangkan oleh Ibnu Hamad.

“Ilmu atau teori adalah abstraksi dari realitas. Cara yang memikirkannya atau rasionalisme, dengan cara empiris dan dengan cara melihat orang lain memahaminya atau sosial konstruktivisme. Itu semua tergantung orangnya, yang rentan kekeliruan. Sebagai masyarakat ilmiah yang sehari-hari bergelut dan bergulat dengan teori, layaklah jika civitas akademika mengambil banyak hikmah ada apa di balik teori termasuk mengujinya dari perspektif keimanan,” terang Ibnu Hamad.

Pada kesimpulannya, Ibnu Hamad menyatakan bahwa kesadaran akan teori itu tak dapat sepenuhnya mengungkap fakta-fakta, bahkan teori hanya ada di belakang fakta, pastilah teori-teori ilmu terbatas kebenarannya. Hanya Allah yang tak terbatas pengetahuan-Nya atas keseluruhan fakta, Ia tahu yang nampak dan tersembunyi, seraya mengutip QS Al-An’am:59.

Selain itu sebagaimana yang diungkapkannya, bersikap seperti ini juga guna mengendalikan akademisi agar tidak sombong akan pengetahuannya yang hanya sedikit itu. Selain sedikit, pengetahuannya pun rentang akan kekeliruan.

“Menyadari bahwa teori itu bukan saja tidak lengkap faktanya, melainkan juga redaksi kalimatnya sangat rentan dari berbagai kelemahan, kesadaran akan hal itu menambah keimanan terhadap firman-firman Allah SWT. Tak perlu fanatik pada teori-teori pengetahuan, baik mazhab Chicago, mazhab Frankfurt, dan lain-lain. Akademisi harus sadar, kenapa kita ikut-ikutan dengan teori itu? Taklid pada sebuah teori dan pada sebuah pemikiran?”, ujarnya.

Ia juga menyerukan para akademisi, sebagai sarjana yang beragama, sudah sepatutnya mengakui bahwa kebenaran yang paripurna hanyalah datang dari petunjuk Allah SWT, bukan dari theorizing semata, seraya mengutip QS Ali Imran: 101. [syahid/ilham/sharia/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version