View Full Version
Rabu, 01 Jul 2015

Misteri Rekaman Kriminalisasi KPK

Misteri Rekaman Kriminalisasi KPK

Oleh: Feri Amsari

 

Novel Baswedan menyatakan terdapat rekaman siasat jahat kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. Novel menyebut kriminalisasi itu sebagai bagian dari serangan balik akibat ditetapkannya status tersangka BG oleh KPK.

Pernyataan Novel disampaikan sebagai bagian dari kesaksiannya pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 Mei 2015 dalam perkara permohonan pengujian Pasal 32 UU KPK yang diajukan Bambang Widjajanto. Menyikapi pernyataan Novel itu, Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dan Patrialis Akbar memerintahkan KPK untuk memutar rekaman tersebut.

Berseberangan dengan perintah MK, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiquerrachman Ruki menyatakan bahwa rekaman itu tidak pernah ada. Ruki menjadi satu-satunya pimpinan KPK yang membatah secara terbuka keberadaan rekaman itu. Pernyataan Ruki dapat dipahami sebagai sikap “orang Polisi” di tubuh KPK sehingga mempercayai sepenuhnya pernyataan Ruki itu adalah kenaifan.

Pernyataan Ruki dapat dibantah dengan membaca sejarah rekaman kriminalisasi Pimpinan KPK Bibit dan Chandra yang pernah diperdengarkan dalam persidangan MK pada 3 November 2009 lalu. Rekaman itu membuktikan rencana jahat berbagai pihak termasuk kepolisian dalam upaya mengkriminalisasikan Pimpinan KPK dan kemudian menghabisinya di dalam penjara memang terbukti nyata. Dari peristiwa itu, sulit membantah keberadaan rekaman para koruptor dan kroninya yang mengatur siasat jahat terhadap pimpinan dan pegawai KPK, termasuk terhadap Abraham Samad, Bambang Widjajanto, dan Novel Baswedan. Lalu, bagaimana caranya agar rekaman penuh misteri itu dapat diperdengarkan dalam persidangan MK yang terbuka?

Langkah Berani

Keberanian ekstra diperlukan agar rekaman tersebut dapat diperdengarkan kepada publik melalui persidangan MK. Tidak hanya keberanian pegawai dan pimpinan KPK yang mengetahui keberadaan rekaman tersebut, tetapi juga keberanian hakim MK untuk memerintahkan KPK atau pihak-pihak lain yang memiliki rekaman kriminalisasi pimpinan KPK itu untuk diperdengarkan dalam persidangan MK.

Meskipun rekaman akan ada pihak yang mempersoalkan rekaman itu sebagai informasi yang tidak boleh dipublikasikan, namun dalam hal kepentingan pemeriksaan perkara, MK dapat memerintahkan pimpinan KPK dan/atau penyidik KPK membuka isi rekaman itu dengan terlebih dulu menafsirkan Pasal 18 ayat (3) UU Keterbukaan Informasi Publik. Melalui penafsiran ketentuan itu, MK dapat memerintahkan penyidik KPK atau siapapun yang memiliki keberanian untuk memperdengarkan isi rekaman upaya kriminalisasi terhadap Abraham Samad, Bambang Widjajanto, dan Novel Baswedan tanpa memerlukan izin Plt Pimpinan KPK dan Presiden. Jika itu dilakukan, maka kebenaran ada atau tidaknya rekaman itu dapat segera dijawab. Beranikah hakim MK?

Jikapun Hakim MK sekarang tidak “setangguh” hakim-hakim konstitusi di era Mahfud MD yang berani memerintahkan diputarnya rekaman kriminalisasi secara terbuka, maka pegawai KPK (termasuk penyidik) dapat memperdengarkan rekaman tersebut dihadapan persidangan MK atau di depan kantor KPK sekalipun demi keterbukaan informasi publik. Sebagai lembaga yang berakuntabilitas tinggi dalam memberikan informasi, maka menyampaikan misteri pernyataan Novel kepada publik adalah kewajiban KPK. Langkah itu butuh keberanian bersama.

Andaikata para pegawai KPK memiliki nyali bersama-sama untuk melakukan langkah berani itu, saya termasuk yakin bahwa mereka tidak akan “dilenyapkan” oleh siapapun karena rakyat pasti menjadi tameng mereka. Seandainya para pegawai “belum bernyali” secara langsung memperdengarkan isi rekaman tersebut, ada baiknya mereka memberikan alat bukti rekaman itu kepada kuasa hukum Bambang Widjajanto untuk diperdengarkan pada sidang MK.

Apabila langkah berani itu tidak ditempuh, tentu pertarungan menyelamatkan negara dari koruptor akan mengalami kekalahan mutlak. Hakim MK, Pimpinan dan Pegawai KPK harus bernyali menghadapi ini jika tidak ingin KPK dimusnahkan.

Peran Presiden

Rekaman yang dimaksud Novel bukan sembarangan. Selentingan kabar angin beredar bahwa di dalam rekaman itu terdapat suara percakapan antara orang-orang dengan kode nama Hs dan Hn, Hs dan Kr, Hs dan An, B dan seorang petinggi di salah satu daerah tempat pimpinan KPK dikriminalisasikan. Sebelum selentingan kabar angin itu menjadi berkembang liar, Presiden dapat berperan ikut membongkar pihak-pihak yang ingin menghancurkan KPK tersebut.

Jika kita lihat arah kebijakan Istana akhir-akhir ini, tidak ada salahnya berharap kepada Presiden untuk mampu bertindak sesuai harapan publik. Misalnya, Presiden dapat mengeluarkan pernyataan secara terbuka bahwa rekaman harus diperdengarkan dan setiap pelaku kriminalisasi Pimpinan KPK harus dihukum berat.  Pernyataan Presiden itu penting dikarenakan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan keberpihakan presiden kepada KPK harus ditunjukan secara nyata.

Langkah Presiden menolak revisi UU KPK dan dana aspirasi DPR menunjukan bahwa Presiden sudah memiliki nyali dalam menunjukan sikap antikorupsi. Nyali yang lebih kuat harus dipertontonkan kepada publik dengan mendukung KPK memperdengarkan rekaman tersebut. Berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik, Presiden berwenang memberi izin kepada seluruh aparat penegak hukum pada berbagai lembaga negara untuk membuka informasi publik yang dibutuhkan dalam upaya penegakan keadilan.

Apalagi rekaman itu berhasil diungkap, maka bukan tidak mungkin posisi Presiden akan menguat karena bisa saja dalam rekaman tersebut terdapat figur-figur yang selama ini menekan kekuasaan Istana. Ini saatnya Presiden berperan tegas.

Misteri Rekaman

MK telah memerintahkan agar KPK membuka rekaman itu dalam persidangan. Ruki boleh saja tegas membantah keberadaan rekaman itu, namun sebagai orang yang ditolak pegawai KPK sebagai Plt Ketua KPK, bukan tidak mungkin Ruki memang tidak diberitahu keberadaan rekaman tersebut. Sehingga pernyataan Ruki tidak dapat mewakili kelembagaan KPK.

Sekarang misteri rekaman itu akan berakhir jika Pimpinan KPK yang lain dan pegawai lembaga antirasuah itu punya nyali membantah ucapan Ruki. Bantahan itu akan mengembalikan harapan kebangkitan KPK. Indonesia menunggu pegawai KPK memperdengarkan rekaman tersebut. Beranikah? (voa-islam.com)

*) Feri Amsari Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas


latestnews

View Full Version