JAKARTA (voa-islam.cocm) - Dengan nilai tukar rupiah yang menyentuh Rp 13.500 per/dolar, dan pelemahan pertumbuhan ekonomi 4,7% pada kuartal pertama 2015, revisi dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,2%, ini merupakan kondisi paling buruk sepanjang sejarah dan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya oleh rezim Jokowi.
Dengan kondisi semakin berjibun para penganggur, yang jumlahnya puluhan juta. Anehnya, Jokowi mengundang dan membiarkan pekerja Cina masuk Indonesia berduyun-duyun. Sungguh sebuah kebijakan yang sangat ;paradok.
Turunnya jumlah investasi yang masuk baik dari penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri, serta melemahnya daya beli masyarakat terutama di sektor konsumsi mengakibatkan turunnya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Yang pasti, melambatnya pertumbuhan ekonomi berimbas pada turunnya ketersediaan lapangan kerja baru untuk usia produktif dan tingkat pengangguran pun meningkat karena banyak pekerja yang dirumahkan akibat pengurangan omzet perusahaan.
Efek berantai berikutnya adalah pertumbuhan kredit melambat, tingkat inflasi terus naik dalam beberapa bulan terakhir khususnya Mei-Juni yang berada di level 7% serta berpotensi terus bergerak ke posisi psikologis sebesar 10% karena harga pangan semakin mahal dan terus merangkak naik. Kredit macet di perbankan diprediksi meningkat pula.
"Kita ingin tumbuh 7% dalam 5 tahun ke depan. Kita butuh minimal Rp 5.000 triliun untuk bangun infrastruktur, dari mana dananya nih?" kata Lucky, dalam seminar berjudul 'CORE 2015 Mid-Year Review: Managing Economic Slowdown'.
Untuk mengatasi keadaan ini, nyaris tak mungkin tim ekonomi pemerintah saat ini yang neoliberal, bisa bergerak cepat dengan memaksimalkan seluruh potensi belanja APBN yang dua ribu triliun lebih, untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan di kuartal pertama tahun ini.
Jelas bukan solusi yang handal, kalau pemerintah hanya mempercepat proses program pembangunan infrastruktur yang telah di ground breaking seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, rel kereta ganda dan bandara baru serta melibatkan penuh BUMN dan mengajak pelaku usaha swasta dalam negeri untuk terlibat dalam investasi pendanaan maupun proses pengerjaannya.
Secara teoritis, hal itu bisa dibayangkan, namun dalam praktiknya sangatlah sulit karena kita tak punya arus investasi yang memadai di sektor infrastruktur. Juga sulit mengharapkan pembangunan infrastruktur sebagai motor pertumbuhan.
Selama delapan bulan pertama berkuasa, pemerintah telah meminjam dana dari World Bank senilai US$ 12 miliar atau setara Rp143 triliun dan dari Tiongkok Rp650 triliun, pemerintah juga meminta pinjaman IDB sebesar Rp66 triliun. Terakhir pemerintah menjual surat utang negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi euro seri RIEURO725 senilai 1,25 miliar euro dengan tenor 10 tahun.
Jokowi menambah utang dengan cepat, dan hal ini membuat rupiah semakin melemah. Mazhab bahwa utang luar negeri sebagai jalan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, jelas keliru dan menyesatkan.
Apa hendak dikata, tim ekuin Kabinet Kerja relatif mandul dan tak kredibel. Akibatnya, menambah utang jadi pilihan dan itu bumerang bagi Trisakti Soekarno dan Nawa Cita. "Pak Jokowi, kita mau dibawa kemana?" kata mantan anggota DPR-RI Fraksi PAN, Hatta Taliwang.
Belum lama, Rini Sumarno di Paris menandatangani utang Rp 570 triliun kepada BOC (Bank Of Cina), diluar Garuda yang juga mengutang kepada Cina. Indonesia sudah menjadi provinsi Cina,akibat pemimpin yang tidak becus. (dita/dbs/voa-islam.com).