View Full Version
Selasa, 11 Aug 2015

Jokowi Mengurus Daging Sapi Saja Tidak Becus, Masih Ingin Tetap Bertahan?

JAKARTA (voa-islam.com) - Semakin terasa dampaknya dari perlambatan ekonomi yang menimpa berbagai kawasan kian terasa bagi Indonesia. Bahkan, tren perlambatan itu kian mengkhawatirkan bagi perekonomian kita ke depan.

Ekonomi terus menukik  ke jurang kehancuran. Justru sekarang yang rarmai dibicarakan tentang menyelamatkan Presiden Jokowi dari 'hinaan' dengan membuat pasal tentang hinaan dalam KUHP. Bukan lagi memikirkan rakyat yang sekarat. Di mana-mana rakyat menjerit menghadapi kondisi ekonomi Indonesia.

Termasuk adanya ancaman dari para pendukung Jokowi yang akan membunuh orang-orang yang dianggap menghina Presiden Jokowi, seperti yang diungkapkan mantan Kepala BIN Jendral AM Hendropriyono. Sungguh sangat  mengerikan. Rakyat yang sudah babak belur ini, ditambah dengan pernyataan pendukung Jokowi yang mulai kalap.

Disisi lainnya, justru indikator-indikator ekonomi Indonesia semakin suram, tak mau bangkit, dan terus menunjukkan pergerakan yang  menurun, bahkan kian menukik. Pertumbuhan ekonomi yang di kuartal I 2015 masih 4,72% pada kuartal II turun menjadi 4,67%.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga masih ajek di angka 13 ribuan, bahkan mencapai 13.540 per dolar AS, pekan lalu. Harga-harga kebutuhan pokok, di antaranya daging, yang terus naik membuat daya beli masyarakat tergerus. Ditambah inflasi yang sudah lebih dua digit.

Harga daging bahkan naik sekitar 40%. Sejumlah pedagang di dalam negeri pun mogok karena daging yang mereka perdagangkan tidak dibeli konsumen yang memang sudah tak mampu menjangkau harga setinggi itu. Padahal, konsumsi masyarakat, selain penyerapan anggaran negara, selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Imbas paling mengerika ialah mulai pengurangan pekerja yang berjibun di sejumlah pabrik akibat produksi mereka tidak terserap secara memadai di pasar. Skalanya memang belum masif. Akan tetapi, jika tidak segera direspons secara cepat, bukan tidak mungkin pemutusan hubungan kerja secara massal bakal terjadi.

Dalam kondisi seperti itu, penyerapan belanja anggaran pemerintah juga sangat kedodoran. Dalam kurun satu semester di 2015, belanja APBN baru terserap 15,3%, turun drastis bila dibandingkan dengan serapan belanja di periode yang sama tahun lalu yang mencapai sekitar 24%. Roda perekonomian kita juga dinilai minim stimulus.

Sayangnya, respons pemangku kebijakan atas sejumlah indikator ekonomi tersebut lambat, bahkan cenderung defensif. Mereka lebih senang berlindung di balik kalimat bahwa perlambatan ekonomi di negeri ini terjadi karena pengaruh krisis ekonomi global, khususnya perlambatan di sejumlah negara.

Beberapa kalangan di pemerintahan juga menanggapi secara defensif ketika muncul analisis bahwa salah satu penyebab seretnya belanja anggaran karena tidak maksimalnya koordinasi antarmenteri bidang ekonomi. Mereka membantah jika ada sejumlah kebijakan yang dinilai tidak sinkron sehingga berdampak negatif ke pasar.

Jawaban 'pembelaan diri' atas berbagai kritik tersebut jelas sangat tidak membantu keadaan. Jawaban paling mengena mestinya pada respons cepat berupa kebijakan yang disertai aksi riil di lapangan.

Ketika respons tersebut juga belum menunjukkan tanda-tanda kesungguhan, kemudian Jokowi hanya bisa melagukan nyanyian 'perombakan kabinet'. Namun, reshuffle kabinet tidak akan dapat mendongkrak ekonomi Indonesia yang sudah sekarat ini kearah lebih baik.

Misalnya, hasil reshuffle harus mampu membuat sentimen positif serta optimisme akan perbaikan ekonomi. Pada gilirannya sentimen positif dan optimisme itu secara riil akan menciptakan lapangan kerja untuk 2 juta orang, meredam harga-harga yang menggerus daya beli, merelaksasi aturan ekonomi yang terlalu mencekik untuk situasi kelesuan, dan menggenjot serapan belanja secara lebih maksimal.

Dengan begitu, kabinet yang terwujud ialah kabinet kerja yang menghasilkanoutput kerja, bukan kabinet yang sepertinya bekerja, tetapi output-nya tidak kentara.

Namun, lebih dari itu, publik menanti apakah Presiden Jokowi betul-betul akan merombak kabinet. Situasinya saat ini ibarat bunyi tokek; jadi, tidak, jadi, tidak. Ketidakpastian hanya akan membuat situasi ekonomi tambah runyam.

Kalau sudah tidakk mampu memimipin pemerintahan, maka lebih baik Jokowi melemparkan 'handuk' dan 'mundur'. Kasihan rakyat yang pada sekarat, kalau Jokowi terus. (sasa/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version