JAKARTA (voa-islam.com)- Pengamat militer dari Institute for Defense and Peace Studies (IDPS), Mufti Makarim meragukan program ‘Bela Negara’ yang diingini oleh pemerintahan Jokowi-Jk. Konsep yang belum ditetapkan dan substansi seperti apa menjadi hal utama yang ia perhatikan.
“Bela negara memiliki konsep sangat luas. Kritik korupsi, kritik terhadap penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Jangan-jangan orang yang kritik pemerintah nantinya malah dianggap melawan negara,” demikian pernyataannya melalui rilis yang diterima redaksi voa-islam.com, malam ini (17/10/2015).
Hal lain yang menurut lulusan Hukum Islam terasa ragu ialah pemerintah dinilai belum menerapkan seperti apa konkrit Bela Negara yang dimaksud. ” Bela negara seharusnya lebih ditekankan untuk meningkatkan kedisiplinan, etos, dan pembentukan karakter. Adapun salah satu cara terbaik melakukan program tersebut ialah melalui jalur pendidikan.”
Sekjen Federasi Kontras periode 2004-2007 ini juga meminta kepada pemerintah menyampaikan kepada masyarakat tentang perbedaan Bela Negara tidak sama dengan militer sesungguhnya. Karena ia melihat pemerintah mempunyai keinginan sekitar 80 persen untuk melatih sama dengan gaya militer.
“Program bela negara dengan pelatihan ala militerisme 80 persen lebih bertujuan untuk mendoktrin warga negara agar siap bertempur menghadapi berbagai ancaman negara. Khawatir, pelatihan tersebut justru mengubah cara pandang warga negara.”
Bahkan ia menduga apa yang ditargetkan oleh pemerintah sebanyak 100 juta kader merupakan seremonial bagi kementerian tertentu. Karena tanpa adanya pembenahan dan gaya pelatihan militer, maka dapat dipastikan program Bela Negara ini jauh dari tujuan yang jelas.
“Rencana pemerintah mewujudkan program bela Negara dengan merekrut 100 juta kader masih membutuhkan banyak pembenahan. Target 100 juta kader dengan pelatihan bergaya militerisme tanpa tujuan yang jelas bisa jadi hanya sebuah program seremonial yang diusulkan kementerian.” (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)