WASHINGTON (voa-islam.com) - Presiden Jokowi di Washington DC menyaksikan penandatanganan kerja sama bisnis antara perusahaan Indonesia-Amerika Serikat yang bernilai lebih dari US$20 miliar dolar, Senin, 26/10/2015.
Dalam pidatonya di hadapan ratusan pebisnis Amerika Serikat dan Indonesia, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi, sebagai upaya untuk menciptakan iklim bisnis yang lebih bersahabat dan terbuka bagi para investor. Namun, ia meminta para pengusaha, yang disapanya sebagai “kawan lama,” bersabar.
“Reformasi ekonomi memakan waktu. Reformasi ekonomi adalah sebuah proses. Kita tidak akan bisa melakukannya secara instan, tetapi kita akan terus berupaya mereformasi dan melakukan lebih baik, hingga tercapai,” ujarnya.
Namun, kerjasama bisnis yang senilai $20 mliar dolar itu, sifatnya masih di atas kerta. Belum ada realisasinya. Jadi masih belum bisa dikatakan, sebagai bentuk komitmen pihak pengusaha Amerika yang ingin bermitra pada Indonesia. Masih memerlukan berbagai persyaratan yang akan mereka ajukan.
Dibagian lain, sebuah studi yang berjudul “Taking Stock: US-Indonesia Investment” memberikan sejumlah rekomendasi, diantaranya agar Indonesia menerima lebih banyak investasi asing, menghapuskan kontrol atas mata uangnya, dan tidak membatasi tenaga kerja asing.
Intinya, Indonesia sebagai negara yang luas wilayahnya tiga kali Uni Eropa itu, dan berpenduduk 250 juta, pasti menjadi pasar yang potensial bagi pengusaha Amerika menanamkan modal dan produknya nya di Indonesia. Jadi intinya akan terjadi penjajahan ekonomi atas Indonesia oleh Amerika.
Jokowi mendukung Obama membangun TPP
Tentu, yang paling inti kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat, komitmen Jokowi mendukung gagasan Obama tentang Kemitraan Trans-Pasipic. Saat berlangsung acara jamuan makan malam di gedung Kamar Dagang AS, Presiden Jokowi mengumumkan kembali keputusannya bergabung dalam Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Amerika, Jepang dan ke-10 negara kawasan Asia Pasifik berhasil mencapai perjanjian perdagangan bebas berskala luas yang akan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dan sekaligus menetapkan aturan-aturan perdagangan bagi 40% ekonomi dunia.
Perjanjian “Kemitraan Trans Pasifik” yang disepakati di Atlanta – Georgia pada 5 Oktober lalu merupakan hasil akhir perundingan yang berlangsung sengit, terutama terkait hambatan-hambatan perdagangan berbagai produk, termasuk pertanian dan produk susu, mobil dan perangkat teknologi terbaru, obat-obatan canggih dan sejumlah produk lain, serta peraturan lingkungan hidup dan peraturan kerja.
Sejumlah analis ekonomi melihat kesepakatan ini sebagai bentuk perjanjian “politik contaiment” yang dilakukan terhadap pengaruh dan perkembangan China, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia. Meskipun ekonomi Cina melambat, tetapi perdagangannya masih tetap yang terbesar di seluruh dunia. Cina juga tidak masuk dalam anggota TPP.
Meskipun sudah disepakati, perjanjian “Kemitraan Trans Pasifik” ini baru diberlakukan setelah diratifikasi oleh parlemen ke-12 negara dalam blok itu. “Kemitraan Trans Pasifik” melibatkan Amerika, Jepang, Australia, Kanada, Chile, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Vietnam. Semuanya itu, tujuannya hanyalah liberalisasi perdagangan alias perdagangan bebas.
Jadi kunjungan Jokowi ke Gedung Putih, sowan kepada Obama itu, hanyalah ingin menyatakan dukungan kepada Obama terhadap idenya yaitu TPP.
Tapi, mampukah produk Indonesia bersaing dengan negara-negara kawasan Pasific? Atau sebaliknya, Indonesia hanya menjadi tempat pembuangan produk negara kawasan Pasific? Jadi dijajah secara ekonomi.
Dengan dukungan Jokowi terhadap gagasan TPP Obama itu, kemudian para pengusaha Amerika langsung teken $ 20 miliar investasi di Indonesia. Nampaknya, Jokowi pragmatis dan sekarang mendukung TPP yang menjadi visi Obama, demi menyelamatkan kekuasaannya yang goyah.
TPP adalah liberalisasi pasar diikuti 12 negara lintas Samudera Pasifik. Otak dari kerja sama ini adalah Amerika Serikat, disusul negara dengan ekonomi kuat lainnya seperti Jepang, Australia, Singapura, dan Korea Selatan. Jika bergabung, maka Indonesia wajib memangkas tarif bea masuk untuk produk 12 negara itu,
Dibagian lain, selama lima tahun terakhir Indonesia memilih bergabung dengan forum ASEAN and Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang kerap disebut condong ke Cina. Sekarang Indonesia melakukan re-orientasi dan mengikuti visi perdagangann bebas yang digagas Obama.
Dalam keterangan tertulisnya, aktivis antiliberalisasi pasar, Rachmi Hertanti, mengatakan tidak ada keuntungan apapun dengan bergabung ke TPP. Indonesia sejauh ini sedang surplus dari sisi perdagangan dengan 80 persen negara anggota TPP.
Peneliti lembaga swadaya Indonesia for Global Justice (IGJ) ini menilai keterlibatan dalam forum pasar bebas bentukan AS itu mengancam Indonesia dari sisi keunggulan komparatif, karena dibanjiri produk dari Korsel, AS, ataupun Jepang.
“Implementasi perjanjian perdagangan bebas menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar impor bagi produk barang dan jasa negara lain,” kata Rachmi.
TPP juga menerapkan standar kewajiban hukum yang lebih tinggi dan ketat, dan memaksa negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan standar TPP, yang merupakan standar AS.
“Ini sama saja seperti kita mengimpor seluruh regulasi AS ke Indonesia. Celakanya, TPP juga meliberalisasi sektor pengadaan pemerintah,” imbuh peneliti IGJ itu.
Bergabungnya Indonesia menjadi kemenangan politik Obama, yang berjanji memperluas keanggotaan TPP setiap kali diserang politikus rivalnya dari Partai Republik. Indonesia dibawah Jokowi memang tidak memliki kemandirian. Nawacita hanya "lip service" bukan cita-cita yang ingin ditegakan. (sasa/dbs/voa-islam.com)
(sasa/dbs/voa-islam.com)