JAKARTA (voa-islam.com)- Komunitas Pengusaha Muslim Indonesai (KPMI), Ferry Koto mengkritisi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang melarang demonstran berdemo dari waktu yang telah ditentukan, yakni dari pukul 06.00-18.00. Pergub yang disahkan Ahok pada tanggal 28 Oktober 2015 itu juga melarang para pendemo membakar ban bekas dan tidak boleh menggunakan pengeras suara yang melebihi 60 desibel (DB).
“Pergub demo di DKI Jakarta betul bunyinya begini?” tulisnya pada akun Twitter pribadi miliknya beberapa waktu yang lalu.
Ferry membaca peraturan tersebut bahwa Ahok dimungkinkan tidak pernah menjadi rakyat. Ia bahkan juga menganggap, apa yang dikeluarkan olehnya merupakan bentuk dari ketidakpahaman Ahok sebagai Gubernur. “Ahok ini ndak pernah jadi rakyat mungkin, ya? Kok tulalit sekali dia.”
Ia pun menyebut Ahok sebagai politikus jadi-jadian. Dan menyesalkan mengapa dahulu partai Gerindra menampungnya. Sehingga menurutnya, makna dari demokrasi Ahok tidak memahaminya. “Ahok ini poitikus jadi-jadian, mungkin. Dulu kok bisa jadi kader Gerindra? Makna demo/aksi turun ke jalan saja tidak paham.”
Ferry mengatakan, bila saja aspirasi mampu tersalurkan melalui akomodasi yang memadai, mungkin rakyat tidak perlu turun ke jalan. Namun demikian, aksi menurutnya memang harus turun ke jalan, mengingat sistem demokrasi menginzinkannya. Bahkan pemerintah otoriter pun harus diturunkan melalui aksi di jalan.
“Aksi turun ke jalan memang tujuannya untuk menekan, Hokkk. Aksi massa, turun ke jalan, di mana-mana Negara demokrasi bagian hak yang dilindungi, Hokkkk.. Pemerintah otoriter, diturunkan jugag lewat aksi jalanan. Kalau aspirasi bisa disalurkan normal dan apa yg diinginkan terakomodasi, ya tidak perlu demo.” (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)