JAKARTA - (voa-islam.com) - Kader-kader PKI dan pendukungnya di dalam negeri dan luar negeri, terus bergentayangan, berjuang dengan gigih, ingin supaya PKI hidup lagi, dan dengan menggunakan "International People's Tribunal", yang sekarang berlangsung di Den Haag.
Sementara itu, Guru Besar hukum pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Romli Atmasasmita menegaskan bahwa warga negara Indonesia (WNI) yang ikut aktif dalam “International People’s Tribunal 1965” (IPT 1965) bisa didakwa dengan pasal 154 KUHP.
“WNI yang ikut aktif gelar ‘PERADILAN INTERNASIONAL’ di Belanda berlaku asas nasional aktif dan dapat dikenakan pasal 154 KUHP. Pasal 154 KUHP: ‘menyatakan perasaan permusuhan, kebencian/penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia…..,” tulis Romli di akun Twitter @romliatma.
Romli mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap WNI yang ikut aktif di IPT 1965. “Seharusnya Pemerintah mengajukan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Belanda dan ambil langkah tegas terhadap WNI yang ikut aktif gelar tersebut,” tegas @romliatma.
Seperti diungkapkan sejarawan Asvi Warman Adam, empat saksi dihadirkan dalam IPT 1965. Berdasarkan pertimbangan keselamatan diri para saksi, saksi-saksi tersebut dirahasiakan nama dan penampilannya di dalam persidangan. Salah satu saksi korban memberikan keterangan tentang penderitaan sebagai tahanan di Pulau Buru.
Asvi sendiri dihadirkan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa Orde Baru.
“Saya bukan pengkhianat negara. Kesaksian saya ini berdasarkan tugas saya sebagai peneliti yang ditunjuk oleh Komnas HAM pada 2003 untuk meneliti pelanggaran HAM Orde Baru,” kata Asvi dikutip sejumlah media.
Pada 2003, Komnas HAM meminta Asvi untuk meneliti dan menginventarisasi kejahatan kemanusiaan apa saja yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Setelah menemukan bukti-bukti yang kuat, Asvi dan tim bersepakat untuk menjadikan kasus pemenjaraan paksa anggota dan simpatisan PKI di Pulau Buru sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Dibagian lain, Muhammadiyah menyatakan Pengadilan Rakyat Internasional atau IPT yang digelar di Den Haag, Belanda, 10-13 November ini tak perlu dilakukan, karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu bisa dilakukan dengan rekonsiliasi.
Ketua Umum Muhammadiyah terpilih Haedar Nashir menilai peristiwa yang terjadi pada 1965 ini merupakan kasus politik yang rumit dan proses hukum tidak akan dapat dilakukan dengan mudah karena banyak yang terkait.
"Tidak sesederhana itu, tak mudah kita giring pada pelanggaran HAM karena politik yang rumit," jelas Haedar kepada wartawan, Rabu (11/11).
"PKI itu jadi bagian tidak terpisahkan dari kekerasan yang dilakukan sebelumnya dan rentetan sikap politik PKI sendiri yang melakukan kudeta pada 1948 yang secara politik menimbulkan aksi reaksi yang membuatnya tidak mudah orang mencari siapa korban dan pelaku dalam konteks pelanggaran HAM," kata Haedar.
Menurut dia, peristiwa 1965 harus dilihat secara utuh tidak hanya dari sisi korban PKI saja. "Kalau mau jujur dan objektif itu sekalian juga yang pernah menjadi korban dari tindak kekerasan yang terjadi pada PKI," kata dia.
Tetapi dia mengakui, selama ini tidak ada upaya dari kelompok Islam untuk membawa kasus pelanggaran HAM yang dialami sebelum peristiwa G30S ke jalur hukum. Sejatinya, kader-kader PKI dan simpatisannya, yang membawa kasus "pembantaian" PKI tahun l965 ke Den Haag, mempunyai agenda, agar PKI direhabilitir kembali, dan PKI hidup lagi di Indonesia. (sasa/dbs/voa-islam.com)