JAKARTA (voa-islam.com)- Tidak ada satupun dari janji-janji Joko Widodo yang terealisasi dan dirasakan oleh rakyat Indonesia. BBM naik, beras impor, merupakan bagian dari janji-janjinya pada masa Pilpres lalu kepada 250 juta rakyat Indonesia.
Jika ada yang mengatakan bahwa infrastruktur kini lebih modern dan maju, ith bukan karena hasilnya Jokowi-Jk, melainkan itu hasil dari perencanaan yang berkelanjutan dari era sebelumnya, yakni SBY. “Infrastruktur itu zaman SBy. Mereka (Jokowi-JK) hanya melanjutkan dan meresmikannya saja. Dan apa yang dirasakan masyrakat pada janji-jani Jokowi tidak ada. lihat saja BBM naik dan kita mengimpor beras,” demikian kata pengamat intelijen John Mempi, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Selain itu, konflik yang kerap terjadi antara elit atau pejabat internal di pemerintahan merupakan satu dari sekian ketidaktepatannya di dalam mengambil kebijakan, walau John menganggap setiap kebijakan Jokowi tidak dapat dinilai 100 persen. Akan tetapi, jika dianalogikan seperti mobil rusak, ia menganggap pemerintahan saat ini sedang kebingungan mencari jalan.
“Analoginya mobil rusak, bingung ingin bicara apa. Jokowi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi ya harus bicara untuk kebijakan. Dan konflik yang terjadi di atas (menteri) entah sampai kapan dapat terselesaikannya,” ujar John.
Melihat hal itu, John menganggap bahwa Jokowi kini bukan lagi sebagai presiden secara psikilogis. Pasalnya, para menteri membuat gaduh, mencari jalan sendiri-sendiri di dalam menjalankan pemerintahan saat ini.
“Sebagai kepala, jika berada di posisi rumah tangga, Jokowi kini tidak lagi dianggap sebagai presiden RI. Lihat saja ereka (para menteri) bergerak masing-masing. Dan secara psikologis, Jokowi terlepas identitasnya sebagai presiden,” bebernya. Dan ia mengatakan bahwa Jokowi sebagai pilot pun tidak memiliki instrument yang berarti.
Pemerintah saat ini pun menurutnya bukan Jokowi yang mengendalikan karena di belakangnya terdapat oknum-oknum para pengusaha. Oknum itulah yang menurut John menyetir Jokowi-Jk.
“Sebagai contoh di dalam menetapkan kebijakan harga pasar atas pangan. Yang menentukan itu sindikat dan para pedagang, bukan pemerintah. Para pedagang itulah yang justru meraih keuntungan, dan rakyatlah yang menanggung kerugian,” tutupnya. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)