JAKARTA (voa-islam.com)- Pilkada serentak telah usai pada awal Desember lalu. Dan diklaim telah berlangsung damai oleh pemerintah. Namun pada kenyataannya, daerah-daerah yang telah melaksanakan Pilkada dengan masing-masing calon yang ada justru membuka sengketa dari pesta demokrasi tersebut.
Munculnya sengketa, kira-kira lebih dari ratusan yang ada, umumnya mempersoalkan selisih atas apa yang telah didapat dari masing-masing calon. Akan tetapi sayangnya, dari ratusan lebih (119) sengketa yang ada, ternyata hanya belasan (19) saja yang dapat diproses. Dan hal tersebut terjadi karena adanya Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 yang mengaturnya.
Melihat kasus ini, salah satu pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan bahwa hal itu dapat terjadi memang karena lahirnya UU tersebut.
Pasal yang diklaim mampu menjadi obat baik bagi keadilan di dalam Pilkada, nyatanya tidak lebih dari UU hasil dari ketok magic.
"Ini merupakan UU hasil dari ketok magic. Di sini diperbaiki, di sana bermasalah. Begitu seterusnya," sampainya, kemarin (26/12/2015), di salah tempat makan di kawasan Jakarta.
Di lain sisi, budayawan Ratna Sarumpaet melihat Pasal atau UU ini sebagai bagian dari sistem super liberal. Sehingga, wajar saja bila keinginan meminta keadilan sulit tercapai dalam 'peperangan' meraih kekuasaan. Ia pun akhirnya meminta agar UU ini dapat segera diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui DPR RI.
"UU ini harus dan bisa diubah. Karena UU ini bukanlah Al-Qur'an," pintanya tegas. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)