JAKARTA (voa-islam.com)- Bagi Indonesia yang dari segi PDB berada di ekor G-20, sebenarnya bisa mempengaruhi situasi global, minimal regional. Ibarat ekor binatang-binatang buas bertenaga, Indonesia mampu mempengaruhi kekuatan “binatang” itu untuk bertahan dan memenangkan pertarungan dari situasi “survival of the fittest”, siapa yang unggul, dialah yang bertahan. Caranya bukan dengan menempatkan diri sebagai obyek, tapi sebagai subyek-obyek, obyek-subyek.
“Saya menyebut posisi ini sebagai close-open circuit system. Dengan posisi ini, darah (sebagai kata ganti uang, atau utang luar negeri) tidak boleh dipasok dari pihak luar. Darah harus mengalir karena kerja otot dan syaraf sehingga melahirkan ketahanan dan pertahanan diri. Artinya, tidak semua sektor harus terbuka, tidak semua sektor harus tertutup,” tulis Ichsanuddin Noorsy dalam rilis yang dibagikan ke voa-islam.com, beberapa waktu lalu.
Analisis strategis-lah yang menentukan kebijakan untuk terbuka-tertutup, tertutup-terbuka. Dalam Perspektif ini, Indonesia harus mendayagunakan kelebihannya pada letak geografi untuk geopolitik ekonomi (termasuk garis pantai kedua di dunia), luas wilayah, jumlah penduduk, dan kekayaan sumberdaya alam. Mengabaikan kelebihan hal ini, akan memosisikan Indonesia sebagai obyek dari pergumulan ekonomi global tak berkesudahan.
“Pergumulan itu menempatkan kerjasama ekonomi bukanlah variabel yang sama dan sebangun dengan persaingan itu sendiri. Pesannya adalah, setiap negara (atau pribadi atau badan usaha) yang fundamental ekonomi makronya rapuh, pasti akan menjadi kurban perang ekonomi itu. Secara sistemik berarti ancaman resesi 2016 akan menahan laju pertumbuhan ekonomi, menyurutkan putaran mesin perekonomian, dan memukul daya beli masyarakat.”
Situasi inilah yang mendorong saya untuk memperbaiki proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016. Di hadapan Komisi XI DPR-RI dan Komite IV DPD-RI saat merespon RAPBN 2016 dan Nota Keuangan, saya memproyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 berkisar 4,8-5,2 persen. Dengan kondisi internal yang efektivitas kebijakannya agak lemah, kini saya memroyeksi 4,8-5,0 persen.
Karenanya upaya mengatasi 11,2 persen kemiskinan, penurunan pengangguran menjadi 5,9 persen, dan menurunkan rasio ketimpangan (Gini rasio) menjadi di bawah 0,432 menghadapi tantangan berat. Apalagi pasar domestik bakal lebih seru diserang karena efektifnya MEA yang berarti soko guru perekonomian bangsa (UMKM dan Koperasi) juga akan ketat bersaing dengan UMKM negara tetangga.
“Jika masyarakat tidak boleh manja, saya setuju. Tapi, di mana peranan negara dalam rangka memenuhi amanat Alinea IV Kata Pembukaan UUD 1945, saya belum bisa menjawabnya. Uraian di atas adalah bentuk kewaspadaan yang mesti dibangun bangsa Indonesia guna tegaknya kedaulatan ekonomi negara.” (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)