JAKARTA (voa-islam.com)- Sebenarnya dalam sistem presidensial itu tidak ada koalisi. Tapi justru kita menciptakan koalisi. Apalagi UU Pilpres itu menentukan presidensial treshold yang sebenarnya tidak ada relevansinya dengan kuat tidak kuatnya seseorang itu setelah dia terpilih sebagai presiden. Karena apa yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil di parlemen itu tidak paralel dengan memilih seseorang.
Rakyat dalam pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil di parlemen itu tidak paralel dengan memilih seseorang tokoh untuk menjadi presiden. Nah, lalu karena ada ketentuan-ketentuan tentang presidensial tentang treshold itu, UU memanipulasi pasal 22 E UUD 1945 tentang pemilu. Ada pemilihan DPR terlebih dahulu lalu kemudian ada treshold 20 Persen untuk mencalonkan presiden cuma 20 persen. Tidak ada jaminan setabil sama sekali di parlemen. Analoginya seperti apa? Nah itu yang terjadi.
Adapun Pak Jokowi di awal-awal maju presiden mengatakan tidak ada bagi-bagi kursi tidak ada balas budi, tapi dia terperangkap dengan sistem itu. Dari awal dia sudah berkoalisi dan makin banyak. Koalisi partai masuk ke dalamnya, dan ketika mau membentuk kabinet janji-janjinya tidak dapat diwujudkan. Akhirnya kabinet memang betul-betul bagi-bagi kursi. Terus bagi-bagi itu berjalan sampai dengan hari-hari terakhir ini.
Ada Dirjen yang dilantik dari birokrat walaupun dimungkinkan oleh UU ASN. Relawan-relawan pada diangkat menjadi komisaris-komisaris BUMN. Akhirnya Presiden Jokowi terjebak dengan sistem dan terjebak dengan desakan-desakan politik yang tidak mampu dikendalikannya.” (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)