JAKARTA (voa-islam.com)- Demo atau aksi yang kerap dilakukan oleh aktivis di Jakarta khususnya, dan umumnya di Indonesia dilihat oleh pengamat politik, Sri Bintang Pamungkas tidak seperti di negara lainnya. Bila di negara lain, ia menyebutkan demo itu akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang dituntut oleh para pendemo, sedangkan di Indoenesia sebaliknya.
Selain itu, demo di Indonesia ia katakan tidak menarik bila tidak dimasukkan unsur-unsur "brutal" bagi stakeholder.
"Itulah! Mestinya harapannya itu tidaklah kosong! Tapi ternyata kosong. Dan demo-demo kita juga bisa dikatakan gombal untuk tidak memakai kata anarkistis. Siapa yang pernah di Eropa? Tentunya berharap demo-deomo di RI bisa berlangsung seperti di sana," katanya melalui siaran pers yang diterima voa-islam.com.
Aktivis yang pernah dipenjara dan lantang ini juga menyebut jika di luar mampu berhari-hari, sedangkan di Indonesia hanya sekejap, itupun dibumbui dengan aksi anarkis. Menghitung jam.
"Di Eropa, demo buruh bisa sampai berhari-hari, tapi tanpa insiden brarti di sana. Demo juga dikawal polisi sebagai kewajiban melaksanakan HAM."
Ia juga mengaitkan demo sekarang ini jauh beda dengan masa lampau di mana saat ini pendemo mudah sekali ditangkap dan dipukuli.
"Kalau zaman Soeharto memang dilarang demo. Malah kalau melanggar bisa dibunuh seperti Marsinah aktivis Sidoarjo. Atau dipenjara seperti Yenis Rosa, Mochtar Pakpahan, Nuku Sulaiman, dalam ribuan aktivis lainnya. Zaman sekarang dipenjara bulanan, tidak samapi tahunan. Belum lagi mendapatkan bogem aparat, ditelanjangi, dan disiksa. Itulah polisi."
Hal demikian padahal telah jelas bahwa UU mengatur penyampaian hak dalam bersuara. Ini menurutnya bisa dilihat dari peraturan yang diterbitkan era BJ Habibie.
"Namun demikian UU yang dikeluarkan oleh Habibie tidak berguna. Karena mentalita polri tidak berubah. Bahkan di papan Polres Tangerang, kantor mantan Kapolri Timur Pradopo, masih saja tertulis semacam larangan untuk berunjuk rasa!" (Robi/voa-islam.com)