JAKARTA (voa-islam.com)--Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui staf Divisi Hak Sipil dan Politik Satrio Wiratari menyebutkan bahwa Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri kerapkali melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan kasus terorisme.
Sebelum kasus kematian Siyono, terduga teroris asal Klaten oleh Densus 88 awal Maret 2016 lalu, KontraS mencatat kasus pelanggaran pasukan burung hantu tersebut pada Desember 2015 silam.
“Dalam operasi tersebut Densus 88 telah menangkap dua orang berinisial AP dan NS pada 29 Desember 2015. Mereka berdua ditangkap di depan show room mobil milik NS dan dibawa ke polsek Laweyan, Solo,” jelas Satrio pada konferensi pers di kantor KontraS Kramat, Jakarta Pusat baru-baru ini.
Pada kasus serupa ini, Densus 88 tidak melakukan pembuatan berita acara penyidikan (BAP).
Namun, setelah keduanya itu ditangkap tidak ada prosss penyidikan yang dilakukan terhadap mereka. Saat itu, tidak ada bantuan hukum yang diberikan kepada mereka berdua.
Polisi juga tidak melakukan proses pembuatan BAP terhadap mereka berdua dan segera melepaskan mereka sore harinya.
Satrio menerangkan bahwa tidak dilakukannya BAP menunjukan bahwa penangkapan yang dilakukan memang tidak berguna bagi kepentingan penyidikan atau penyelidikan.
“Padahal menurut KUHAP operasi penangkapan harus dilakukan untuk kepentingan penyidikan serta harus berdsarkan bukti permulaan yang cukup,” kata Satrio.
Menurutnya, operasi seperti itu menunjukan bahwa Densus 88 tidak memperhitungkan keputusan dan langkahnya dengan baik.
“Peristiwa diatas menunjukan bahwa operasi penangkapan Densus 88 kadang tidak berdasarkan informasi yang kuat dan tidak dilakukan berdasarkan kebutuhan penyidikan atau penyelidikan yang diperhitungkan dengan baik,” tegas Satrio.* [Sendia/Syaf/voa-islam.com]