JAKARTA (voa-islam.com)- Di era reformasi gerakan anti Cina tidak menghilang begitu saja meskipun belum dalam konflik manifest (social unrest). Indikasi munculnya kembali gerakan anti Cina, tidak bisa dihambat dan hanya momentum menentukan. Sikap dan tindakan anti Cina akan menjadi fenomena konflik dan kekerasan. Demikian kata Muchtar Effendi Harahap dari NSEAS melalui siaran persnya yang didapat voa-islam.com.
Sebab-sebab itu di antaranya tidak adilnya pemerintah Pusat dan Daerah terhadap rakyat sendiri. “Sebab munculnya gerakan anti Cina, yakni: 1. Kebijakan Penguasa Negara; 2. Kesenjangan ekonomi kaum pribumi dan Cina; 3.Berulangnya sejarah anti Cina dan warisan turun temurun; 4. Perilaku Politik Gubernur Ahok; dan, 5. Globalisasi rasialis dan anti Cina sebagai ‘Semangat Zaman’,”
Gerakan anti Cina pada dasarnya terjadi sebagai akibat kebijakan penguasa negara dalam mengelola sumberdaya ekonomi (kekayaan). Kerusuhan anti Cina sepanjang sejarah Indonesia tidak terlepas dari kebijakan penguasa negara, disamping terjadinya perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.
Khusus di DKI, prilaku politik Gubernur DKI Jakarta Ahok mempercepat dan memperkuat gerakan anti Cina. Kalangan pribumi menilai prilaku politik Ahok menyakitkan “hati”, karena tutur kata kasar, arogan dan menggusur paksa kelas bawah dan PKL (Pedagang Kali Lima) Pribumi. Dikesankan, Ahok lebih memihak pengusaha Cina.
Gerakan anti Cina ini juga dipercepat dan diperkuat dengan globalisasi rasialis dan anti Cina sebagai semangat zaman seperti kampanye Calon Presiden AS, Donald Trump, aksi anti Cina di Turkey, Jepang, Vietnam, Korea Selatan, Thailand dan juga Malaysia. Semangat zaman ini akan menjadi lebih terbukti jika Donald Trump berhasil menjadi Presiden Negara Adi Kuasa (super power) AS. (Robi/voa-islam.com)