JAKARTA (voa-islam.com)- Keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebetulnya sudah banyak yang memprediksi. Salah satunya Inggris tidak terlalu berpengaruh menggunakan mata uang Euro dan lebih dominan memilih Poundsterling, mata uangnya sendiri.
"Brexit hanya menunggu memomentumnya saja untuk keluar. Krisis 2008 yang melanda Eropa dan Amerika Serikat dan masih berlangsung sampai dengan saat ini menjadi saat yang tepat bagi Inggris untuk mengambil keputusan keluar. Dunia dikagetkan oleh keluarnya British dari Uni Eropa (Brexit). Padahal kejadian itu telah diperkirakan sebelumnya oleh banyak pihak bahwa sesungguhnya Inggris sejak awal tidak bersungguh sungguh bergabung dengan Uni Eropa, buktinya Inggris tidak pernah mau meninggalkan Poundsterling dan tidak mau menerima Euro sebagai mata uang mereka," demikian kata Salamuddin Daeng dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno melalui siaran persnya, dan diterima voa-islam.com.
Namun demikian, menurut Daeng hingga saat ini krisis Eropa belum berakhir. Negara negara Uni Eropa terperangkap utang yang besar.
Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, tinggal serpihan yang sulit diselamatkan. Ditambah lagi dengan banyak imigrasi yang masuk ke EU yang semakin tidak terbendung akan menajdi sumber masalah yang besar bagi Uni Eropa.
"Inggris sebagai negara Kerajaan terbesar di dunia yang tekah berusia lebih dari 1000 tahun ini tidak mau mati konyol atau tenggelam bersama sama dengan Uni Eropa."
Sejatinya Uni Eropa bukanlah sebuah regionalisme yang dibangun diatas kerjasama sebagaimana yang dibayangkan banyak orang. European Union (EU) sejatinya adalah organisasi perdagangan bebas yang dibangun diatas dasar persaingan.
"Itulah mengapa dalam perkembangannya perekonomian mereka saling memangsa satu sama lainnya." (Robi/voa-islam.com)