JAKARTA (voa-islam.com)—Kapolri Jenderal Tito Karnavian menolak usulan pelibatan secara penuh TNI dalam penangangan terorisme di Indonesia. Tito beralasan, penanganan terorisme ini harus mematuhi hukum dan HAM.
”Sebab undang-undang tentang HAM ini tidak memiliki kedaluwarsa, bisa sampai kapanpun, kemudian bisa berlaku retroaktif (surut), sehingga petugas negara, aparat negara yang melakukan tindakan yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia atau terluka. Itu sebaiknya dilakukan dengan langkah-langkah yang secara tata hukum yang berlaku ditingkat nasional itu dapat dibenarkan sesuai aturan.”
Tito mencontohkan, jika ada perlawanan dari teroris maka harus dilakukan penindakan yang proporsional.
”Meski tersangka teroris, jika tidak melakukan perlawanan, tidak boleh dilakukan tindakan berlebihan. Harus berlandaskan asas proporsional. Nah ini anggota-anggota kita perlu berlatih, penegak hukum dilatih untuk itu, untuk melakukan tindakan- tindakan proporsional,” ujar Tito seperti dikutip Suara Merdeka.
Dia menilai doktrin TNI berbeda dari dokrtrin Polri, khususnya dalam penindakan. ”Kalau doktrin dari teman-teman TNI umumnya yang saya pahami kill or to be killed (membunuh atau untuk membunuh),” jelas Tito.
Menanggapi pernyataan Tito ini, pengamat terorisme Harits Abu Ulya mengatakan Polri tidak perlu khawatir jika TNI dilibatkan penuh dalam penanganan terorisme di Indonesia.
“TNI hari ini telah mengalami transformasi yang luar biasa, tidak perlu trauma dengan masa lalu. Perlu di pertimbangkan dan dicoba untuk memberikan porsi yang tepat dan dituangkan dalam UU terorisme tentang peran TNI dalam menanggulangi aksi terorisme,” ujar Harits dalam keterangan pers yang diterima Voa-Islam baru-baru ini.
Menurut Harits kekhwatiran TNI melanggar HAM bisa ditepis dengan didirikan lembaga pengawas. “Hanya perlu ada dewan pengawas yang betul-betul independen dan berintegritas untuk mampu kontrol penuh mulai dari hulu sampai hilir dari proyek kontra terorisme di Indonesia. Dengan demikian bisa meminimalisir kekawatiran adanya pelanggaran HAM dan sebagainya,” ungkap Harits.
Harits menegaskan, sejatinya Polri pun kerap melakukan pelanggaran HAM saat menangani kasus terorisme.
“Perlu diingat dan dicatat bahwa upaya penindakan hukum oleh Polisi juga kerap terjadinya pelanggaran HAM meski selama ini berusaha ditutupi. Paling tidak, kasus Siyono-Klaten adalah kunci kotak pandora persoalan tersebut,” jelas Harits.
“Cobalah jujur dan berkaca terhadap 10 tahun terakhir upaya penindakan terhadap orang-orang yang terkait terorisme; berapa yang tewas diluar proses peradilan? Sudah lebih dari 130 orang. Berapa yang mengalami kekerasan fisik dan verbal ketika penindakan dan penyidikan? Hampir 90% semua orang yang ditangkap terkait terorisme mengalami keadaan seperti itu, penggunaan kekuatan yang berlebihan sering dilakukan Polisi,” lanjut Harits.
Pelibatan TNI secara penuh ini dinilai Harits sangat perlu. “Maka seperti kasus Poso operasi gerilya ke depan sebaiknya tidak gabungan TNI Polri. Tapi berikan porsi untuk TNI yang lebih, karena dalam operasi gerilya ada tahapan-tahapan khusus beda dengan operasi biasa.” *[Syaf/voa-islam.com]