JAKARTA (voa-islam.com)- Survey yang dilakukan atas Yusril Ihza Mahendra, menurut pengamat Syahganda Nainggolan 206 pakar yang diambil sebagai sampel tidak jelas mewakili expert apa? Klaim Hamdi Muluk bahwa 60 % lebih terdiri dari professor dan doktor tidak menjawab pertanyaan, siapa populasi yang dituju?
Apakah 206 orang tersebut mewakili jumlah 5109 professor atau 23.000 doktor di Indonesia? Apakah responden ini mewakili expert yang tinggal di jakarta? Atau umum? Apakah ekspert ini ahli dibidang kepemerintahan atau malah ahli bedah jantung?
"Kedua, 'expert judment' yang diklaim sebagai 'opinian leader' telah menempatkan Yusril pada penilaian intelektualitas terendah dibanding 8 kandidat lainnya. Dan menempatkan Ahok sebagai orang yang paling intelektual.
Tentu hasil ini tidak masuk akal. Sebuah aksioma, bukan hipotetik, kalau Yusril pasti lebih tinggi intelektualnya daripada Ahok, dan mungkin lainnya. Kenapa, pertama, Yusril merupakan professor di universitas nomer satu di Indonesia versi QS, THE, Webmetric dan lainnya. Dan dia mencapai gelar akademik tertinggi, sebagai doktor. Juga seorang professor.
Sedangkan Ahok dari kampus biasa biasa saja. Bukan doktor. Mungkin ini bukan indikator penting menurut Muluk dan kawan-kawan, namun itu sebuah common sense bahwa tingkat intelektualitas tersebut sangat terkait dimana seseorang menimba ilmu.
Ketiga, hasil survey yang menempatkan Yusril paling tidak direkomendasikan sebagai calon Gubernur DKI bertentangan dengan hasil survey yang sama pada indikator "Jika hanya Ahok, Yusril dan Safri" di 'judgment' para ekspert tersebut.
Pada indikator ini malah Safri yang paling jeblok, 3,8 persen. Sedang Yusril masih di atas yang abstain, yakni 24,1persen.
Jadi, kita tahu bahwa survey ini merupakan kebohongan ilmiah, dari permainan politik pendukung Jokowi Ahok. Khususnya Professor Hamdi Muluk." (Robi/voa-islam.com)