JAKARTA (voa-islam.com)- Kebijakan publik itu sejatinya berbasis untuk publik. Asumsi dasarnya itu adalah untuk rakyat, dan rakyat sebagai pemiliknya dari sebuah negara tersebut. Dalam kebijakan publik sendiri, menurut pengamat kebijakan publik, Muchtar Effendi Harahap bahwa setidaknya terdapat beberapa hak yang harus dipenuhi pejabat.
“Pertama itu adalah hukum berita, yakni soal kepentingan negara. Dan ini tidak boleh diabaikan. Ada pula kepentingan rakyat. Inipun tidak boleh diabaikan. Pun termasuk kepentingan usaha, salah satu yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi kepentingan usaha ini harus memperhatikan lingkungan sekitar, termasuk alamnya. Dan kalau dalam perpolitikan Soeharto dulu memang tidak mengenal beberapa hal di atas. Namun di era reformasi ini tidak dibenarkan,” sampainya, Jum’at (19/08/2016), di DDII, Jakarta.
Pada hal di atas, ia mengaku melihat ada di diri Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, salah satunya yakni yang jelas adalah kepentingannya kepada para pengusaha. “Ada di diri Ahok yang bertentangan dari empat hal di atas. Dia itu lebih mementingkan pengusaha, misalkan soal Sumber Waras. Ia itu menggunakan uang negara tetapi DPRD dan rakyat tidak tahu menahu. Kebijakan ini adalah kejahatan. Harusnya DPRD tahu hal itu. Ini justru sebaliknya. Sehingga yang diuntungkan hanya dunia usaha,” jelasnya.
Bahkan seorang Kartini mengaku bahwa Ahok itu menurutnya membali lahan tersebut sendiri tanpa adanya audit hukum yang berarti. “Ada pula tanah di Tangerang yang dibeli Ahok tanpa sepengetahuan rakyatnya. Dan itu ketahuan saat KPK mengungkapnya tahun 2015. Tetapi, yang namanya Ahok justru buru-buru melaporkannya ke Bareskrim. Seolah dia bukanlah orang yang menginginkan itu. Rakyat lagi tidak diuntungkan. Padahal ia menggunakan uang negara,” tambahnya. (Robi/voa-islam.com)