JAKARTA (voa-islam.com)--Penulis buku Ayat-Ayat yang Disembelih, Thowaf Zuharon mengatakan bahwa upaya rekonsiliasi korban peristiwa 1965 versi pegiat Hak Azasi Manusia (HAM) tidak diperlukan. Sebab, menurutnya, rekonsiliasi itu sudah berlangsung sejak lama secara kultural.
"Rekonsiliasi sudah terjadi secara alamiah. Setiap lebaran, kita semua sudah saling memaafkan,” kata Thowaf kepadaVoa-Islam, Jakarta, Selasa (27/9/2016).
Lanjut Thowaf, bila rekonsiliasi PKI tetap dipaksakan, maaka artinya mereka tidak peduli dengan proses rekonsiliasi yang sudah berlangsung.
"Kalau masih menuntut rekonsiliasi, berarti tidak mengakui mekanisme lebaran," ujarnya.
Lebih dari itu, rekonsiliasi struktural yang didorong pihak-pihak LSM dan pegiat HAM dinilai tidak tulus dan bermuatan kepentingan.
"Itu proyek penciptaan konflik," jelas Thowaf.
Thowaf juga menjelaskan, sebelum tahun 1965 kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Islam sama besar. Sehingga, aneh bila PKI mengaku jadi korban pembunuhan massal.
"PKI itu sangat besar, karena ada uang propaganda dari China sebelum 1965. Bahkan, tahun 1955, PKI dapat urut pemilu nomor 4," ujar dia.
Oleh karena itu, Thowaf menolak istilah pembunuhan massal 1965 yang terkesan PKI dizalimi tanpa dosa. Thowaf menilai peristiwa itu adalah perang sipil, terjadi baku bunuh antara PKI dengan umat Islam sebagai musuh PKI. Bukan aksi pembunuhan sepihak seperti dipropagandakan kelompok-kelompok pro-PKI.
"Peristiwa 1965 bukan pembunuhan. Tapi perang sipil, kondisi kacau dan baku bunuh. Bahkan TNI sempat terbelah,” ucapnya.* [Bilal/Syaf/voa-islam.com]