JAKARTA (voa-islam.com)- Budayawan Betawi, Ridwan Saidi atau yang lebih dokenal dengan panggilan ‘babe’ menyatakan bahwa maksud reklamasi saat ini telah diubah secara konteks dan arti. Sesuai dengan Kepres 52 tahun 1995 yang kurang lebih dimaksudkan reklamasi adalah pengerukan laut. Dan pada saat zaman Fauzi Bowo hanya diterbitkan prinsip reklamasi, bukan seperti sekarang di bawah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
“Ini ada manipulasi hukum. Reklamasi itu tidak dapat dibangun seperti sekarang ini yang diblok-blok. Itu melanggar hukum. Reklamasi itu adalah pengerukan laut. Areal yang pengerukan itu tetaplah milik negara sesuai dengan Kepres 52 tahun 1995, dan itu belum dicabut. Nah, zaman Foke itu hanyalah diterbitkan prinsip reklamasi, yakni pengerukan laut,” sampainya dengan semangat, Senin (03/10/2016), di Menteng, Jakarta.
Dari awal adanya reklamasi itu menurutnya sudah melannggar hukum. Maka dari itu ia katakan tidak cukup masyarakat ajukan itu ke PTUN. “Tidak cukup gugat ke PTUN. Segera ajukan gugatan ke Mahkamah Internasional dengan menggugat Presiden Joko Widodo. Karena apa yang terjadi saat ini bukan digunakan penggunaannya oleh warga wilayah itu berada,” tambahnya tegas. Siapapun yang digugat ke Mahkamah Internasional di Belanda menurutnya akan merasa takut.
Apa yang dilakukan oleh Ahok dan ada sikap untuk melanjutkan ia katakan bukanlah reklamasi apa yang dimaksud dalam Kepres tersebut. “Bukan reklamasi tapi development off shore. Jadi harus digugat,” sambungnya.
Ia menyarankan untuk hal itu tentunya dengan membawa serta pengacara yang cukup hebat. Alasan implikasi telah jelas bahwa warga di daerah reklamasi tersebut menjadi hancur. Padahal itu menurutnya bukanlah tanah negara, semisal Pasar Ikan.
“Kami meminta bukti kepada pemerintah dan negara tetapi tidak pernah ditunjukkan. Karena itu memang bukanlah tanah negara. Itu adalah tanah adat. Hal ini seperti saat di Ancol tahun 1965/1966 di mana empang warga Betawi dirampas. Dan ini adalah perampokan,” tutupnya. (Robi/voa-islam.com)