JAKARTA (voa-islam.com)- Sementara penolakan penguasa dan penegak hukum berpijak pada hukum formal dan diskresi soal penistaan agama Islam oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebagaimana artikel saya tentang, kata Ichsanuddin Noorsy,“Negara Kekuasaan dan Provinsi Gagal”, penguasa dan penegak hukum menggunakan bukan lagi standar ganda, tapi sudah memakai standar yang aman dan nyaman bagi mereka (suitability standard).
Hal itu menurutnya tercermin pada kata-kata Presiden yang memerintahkan Wapres, Menkopolhukam, Menag, Panglima TNI dan Kapolri untuk menjumpai perwakilan pengunjuk rasa.
“Sementara yang bersangkutan pergi memeriksa proyek kereta api cepat Kota-Bandara Cengkareng,” katanya, melalui siaran persnya yang didapat voa-islam.com.
Menurutnya kemungkinan Jokowi “kabur” karena ia tahu bahwa aksi damai Bela Islam II itu memang ke arahnya terhadap kekuasaannya. “Joko menolak bisa jadi karena menyadari demonstrasi 4 Nopember ini pun mengarah ke posisi dirinya.”
Noorsy, lanjutnya, serta merta masyarakat membandingkan respon Presiden terhadap persoalan Kodok, Warteg, pungli recehan dan pembakar masjid di Tolikara, atau sebagaimana dia suka blusukan dan tanggap bahkan hingga masuk ke gorong-gorong.
“Kenapa ada dua juta lebih masyarakat Islam yang ingin menjumpainya, Presiden malah pergi dan mewakilkannya? Dalam perspektif sistem pemerintahan, mendelegasikan kewenangan tidak salah. Tapi dalam perspektif interaksi sosial politik, saya menyebut Joko Widodo bukan representasi muslim, tidak menghargai keyakinan dan aspirasi muslim, tidak peduli pada penistaan Al Qur’an, tidak memahami perjalanan haji dan umrohnya, serta secara terbuka mengambil jarak psikologi dan sosial dengan muslim dan ajaran Islam.”
Memang Joko Widodo adalah representasi bangsa Indonesia yang 15-17 persen bukan muslim dan Indonesia bukan negara agama sepenuhnya.
“Jika pemegang kekuasaan dan penegak hukum bersikap arif bijaksana, sepatutnya dan sepantasnya rasa keadilan masyarakat mewujud dalam sikap politik kekuasaan.” (Robi/voa-islam.com)