BOGOR (voa-islam.com)--Langkah petugas imigrasi menangkap empat warga negara (WN) Tiongkok yang bermukim di perbukitan Gunung Leutik, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Selasa (8/11) mengungkap sisi lain.
Tangkapan imigrasi itu seolah menguatkan kabar tentang serbuan WN Tiongkok untuk bermukim di Indonesia. Keempat WNA yang masing-masing berinisial XXJ (40), GH (50), YWM (37) atau Ko Aming dan GZ (50) itu digerebek di perkebunan cabai di Kampung Gunung Leutik.
Tanpa mengantongi surat resmi, WNA tersebut bebas menyewa lahan dan bercocok tanam. Bahkan salah satu imigran telah memiliki surat izin mengemudi (SIM) A dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) Republik Indonesia.
Kasi Pengawasan Keimigrasian Kantor Imigrasi Bogor Arief A Satoto menjelaskan, pihaknya terus memeriksa empat WN Tiongkok itu. Keempatnya diperiksa sejak pagi hingga malam.
"Belum ada perkembangan. Akan kami lanjutkan besok (hari ini, red)," ujarnya seperti diberitakan Radar Bogor (Jawa Pos Group).
Sedangkan Kepala Desa Sukadamai Jaon Latipah angkat bicara soal keberadaan empat imigran ilegal di wilayahnya. Menurut dia, pemerintah desa mulai berkomunikasi dengan para imigran pada Juni silam.
Ada seorang bernama Heri yang membawa imigran masuk ke Sukadamai. Dia mendapatkan bantuan dari kerabatnya yang bekerja sebagai PNS di Pemda Cianjur. "Orang yang tahu persis ceritanya, suami saya, Pak Maman Suherman," tutur Jaon sembari meminta Radar Bogor (Jawa Pos Group) menghubungi sang suami untuk mendapatkan cerita lebih lengkap.
Ditemui di tempat terpisah, Maman Suherman yang juga pengurus LPM Desa Sukadamai mengungkapkan, awalnya para imigran itu mengaku berasal dari Korea. Mereka mencari lahan untuk menanam cabai.
"Karena kebetulan saya dikuasakan untuk mengelola lahan garapan milik Aling, warga Jakarta, saya pun menyambutnya dengan baik. Apalagi, dia (WNA, red) menjanjikan memberdayakan warga di sini untuk menjadi karyawan. Kalimat itulah yang membuat saya tambah senang," ungkap Maman.
Dia juga menjelaskan, batas waktu penggarapan tanah berstatus hak guna usaha (HGU) itu hanya selama dua tahun. Sementara itu, luas tanah yang dibutuhkan adalah 20 hektar.
"Menyewa lahan ini hanya pakai kuitansi antara saya dan Heri. Kalau menurut Aming, sewaktu di Hongkong dia sudah berprofesi sebagai pengusaha cabai. Nah, dia pun menanyakan untuk pemasaran di Jakarta itu ada di mana,” tutur Maman.
Dia menambahkan, Aming mengaku berasal dari Hongkong dan sudah lama tinggal di Jakarta. ”Rumahnya ada di Tangerang. Sewaktu mereka ke sini, jumlahnya belum ada empat, hanya dua orang. Saya juga baru tahu kalau nama aslinya Aming adalah Yu Wai Man," jelasnya.
Selama di Sukadamai, para WNA itu tinggal di rumah gubuk di tengah perkebunan. Meski Aming mengaku dari Korea, dia paham bahasa Indonesia.
Di lahan pertanian itu, Aming bertugas mengurus pembukuan, sedangkan tiga WNA lain bekerja sebagai teknisi. "Selama di sini, mereka tidak pernah bermasalah. Justru keempat imigran banyak membantu. Terbukti, 30 warga di sini menjadi karyawan tetap mereka. Warga dibayar Rp 60 ribu per hari," terangnya.
Sekarang, menurut Maman, dengan tertangkapnya keempat WNA maka warga banyak yang menganggur. Namun, jika para imigran tersebut memang bersalah, warga pun mendukung proses hukum.
"Untuk harga sewa tanah, satu hektare Rp 2,5 juta per tahun. Mereka juga memperbaiki jalan," ucapnya. * [JPNN/Syaf/voa-islam.com]