JAKARTA (voa-islam.com)-- Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah dinyatakan tersangka penodaan agama dan sudah dicekal untuk bepergian ke luar negeri. Dengan status tersangka, maka penyelidikan telah diubah menjadi penyidikan.
Demikian diungkap Pakar Tata Hukum Negara, Yusril Ihza Mahendra dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Jakarta, Rabu (16/11/2016).
"Penyidik polisi harus melanjutkan penyidikan dan menghimpun bukti-bukti untuk nanti dapat memutuskan apakah perkara Ahok dapat dilimpahkan ke pengadilan atau dikeluarkan penghentian (SP3)," katanya.
Menurut Yusril, pernyataan Ahok sebagai tersangka dan pencekalannya menunjukkan bahwa polisi telah melakukan penyidikan ini bebas dari intervensi.
"Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berjanji penanganan kasus Ahok ini akan dilakukan secara obyektif dan bebas intervensi pihak manapun juga,"ujarnya.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, kata Yusril, Ahok bisa saja menggugat penetapan itu ke sidang pra-peradilan. Kalau gugatan praperadilan dikabulkan, maka status tersangka harus dicabut. Sebaliknya jika gugatan praperadilan ditolak, maka status tersangka Ahok tetap dan penyidikan perkara dilanjutkan sampai ke pengadilan. "Terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum banding dan kasasi," terangnya.
Status Ahok sebagai calon dalam Pilkada DKI, menurut hukum, tidaklah terpengaruh, meskipun dia dinyatakan tersangka. Ahok tetap dapat meneruskan status pencalonannya, karena dia tersangka melakukan penistaan agama sebagai delik umum, bukan delik khusus yang diatur dalam UU Pilkada.
"Ahok tidak bisa lanjut Pilkada jika dia melanggar pidana dalam UU Pilkada," ucapnya.
Ketentuan seperti ini tidak hanya berlaku bagi Ahok, tetapi bagi siapa saja yang jadi calon dalam Pilkada. Keadilan harus ditegakkan terhadap siapapun. Setelah dinyatakan tersangka, para pelapor kasus Ahok ini harus terus-menerus melakukan pengawasan proses penidikan kasus ini.
"Jika penyidikan dirasa berjalan lamban, mereka bisa meminta laporan penangan kasus kepada Bareskrim. Jika Ahok misalnya di SP3, pelapor berhak mengajulan gugatan praperadilan atas penetapan tersebut," beber Yusril.
Yusril meyakini, kika kasus Ahok ini dilihat sebagai sebuah kasus hukum, maka mekanisme hukum untuk menanganinya sudah cukup tersedia. "Saya percaya bahwa hukum itu adalah mekanisme untuk menyelesaikan masalah secara adil dan bermartabat. Tentu, sepanjang semua pihak menjunjung tinggi proses penegakan hukum yang adil dan beradab, bukan adu kekuatan untuk merekayasa atau memaksakan kehendak," katanya.
Karena itu, Yusril berpendapat, beri kesempatan kepada Mabes Polri untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap Ahok. "Kita harus mendorong penegakan hukum yang konsisten, adil dan beradab dengan menyampingkan segala kepentingan dan sentimen politik, yang kerapkali membuat kita kehilangan kejernihan berpikir secara obyektif," jelasnya.
Akhirnya, kalau kasus Ahok ini lanjut sampai ke pengadilan, maka pengadilanlah nanti yang akan memutuskan Ahok bersalah atau tidak. Selama proses penegakan hukum berlangsung, maka asas praduga tidak bersalah tetap harus dijunjung tinggi. Seseorang baru dinyatakan bersalah jika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Proses penegakan hukum memang panjang dan berliku, karena itu sebagaimana halnya demokrasi, perlu kesabaran dan kedewasaan. "Saya berkeyakinan bahwa bagian terbesar umat Islam Indonesia menghendaki cara-cara demokratis dan menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi," tutur Yusril.
"Lain halnya kalau kita menggunakan cara-cara revolusioner di luar hukum dan konstitusi. Hasilnya bisa cepat, namun sebagaimana kebanyakan revolusi, ujung-ujungnya bukan hukum dan demokrasi yang ditegakkan, yang tegak justru adalah kediktaroran," sambungnya. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]