JAKARTA (voa-islam.com)--Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai bahwa larangan aksi pada tanggal 2 Desember 2016 oleh Kapolri sebagai antisipasi demonstrasi yang diadakan pada tanggal 2 Desember 2016 oleh berbagai organisasi masyarakat adalah bentuk kemunduran pasca era perubahan politik otoritarian.
Larangan itu, diperkuat dengan maklumat Kapolda Metro Jaya bernomor Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
"Hal ini tidak hanya kemunduran dalam era reformasi , melainkan juga ancaman terhadap demokrasi," kata Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, SH dalam keterangann persnya, Jakarta, Rabu (23/11/2016).
LBH Jakarta berpendapat Kepolisian mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan maklumat yang berisi ancaman kepada demonstran. Setidaknya ada 5 permasalahan dalam Maklumat Kapolda Metro Jaya tersebut, yaitu:
Pertama, Pembatasan aksi mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi. Padahal, jelas Ghifari, penyampaian pendapat bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut dalam Pasal 28 ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2015).
Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang. Dalam hal ini kita sudah semestinya mengacu kepada UU No. 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat Di Muka Umum yang mengatur mengenai pembatasan demonstrasi.
"Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan elemen penting dalam demokrasi. Ancaman terhadap demonstrasi tanggal 2 Desember 2016 juga merupakan ancaman terhadap kelompok masyarakat sipil lain yang menyuarakan ketidakadilan seperti petani yang dirampas lahannya, kelompok miskin kota yang digusur rumahnya, buruh yang dilanggar haknya atas upah yang layak, nelayan yang jadi korban reklamasi, dan kelompok marjinal lain yang dilanggar hak-haknya," ungkap Ghifari.
Kedua, penggunaan pasal makar yang merupakan pasal multitafsir atau pasal karet. Maklumat Kapolda menegaskan mengenai larangan makar terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden, hendak memisahkan diri dari NKRI dan makar dengan menggulingkan Pemerintah Indonesia. Kapolda menegaskan ancaman dengan pidana mati atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun. Hal tersebut mengacu pada Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Pasal ini merupakan pasal yang multi tafsir atau pasal karet dan sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis diera orde baru. Diera reformasi, pasal makar ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang melakukan protes. Aktivis Papua dikenakan pasal makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, bendera yang boleh dikibarkan diera Presiden Gus Dur," terang Ghifari
Sebagaimana diketahui, ujar Ghifari, dalam demonstrasi, merupakan hal yang lazim demonstran menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pemerintah atau berteriak agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri atau digulingkan.
"Merupakan hal yang berlebihan jika kepolisian menerapkan pasal makar hanya karena ekspresi. Perlu diingat rezim yang berkuasa saat ini menikmati betul kebebasan berekspresi ini ketika melawan Orde Baru, menurunkan Gus Dur, ataupun mengkritisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono," bebernya.
Ketiga, sdanya penegasan ancaman hukuman pidana mati dalam Maklumat Kapolda menunjukkan bahwa Kepolisian RI dan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak malu dengan hukuman mati yang merupakan hukuman yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Sebagai sebuah negara demokrasi seharusnya hukuman mati ditinggalkan oleh Indonesia. "Pidato Jokowi di Australia Oktober yang lalu, yang mengatakan bahwa Indonesia akan mengevaluasi hukuman mati terbukti hanya sekedar lip service semata," ujar Ghifari.
Keempat, pembatasan waktu aksi bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998. Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008 yang membatasi aksi hingga pukul 18.00 bertentangan dengan ketentuan UU No. 9 Tahun 1998. Hal tersebut terlihat dalam penjelasan Pasal 13 ayat 1 huruf (b) menjelaskan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan pada malam hari dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan aparat keamanan.
Kelima, Aksi tidak boleh mengganggu fungsi jalan raya/arus lalu lintas. Melarang atau membatasi aksi dengan alasan terganggungya fungsi jalan raya atau arus lalu lintas adalah alasan yang mengada-ada. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa demonstrasi sedikit banyak akan mengganggu arus lalu lintas.
"Memperlancar arus lalu lintas, memberitahu kepada masyarakat arus alternatif ketika demonstrasi justru merupakan tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf b Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008. Polisi dapat bertindak jika ada pemblokiran jalan oleh demonstran," tegasnya.
Selain lima permasalahan tersebut, LBH Jakarta mengaku mengapresiasi Kapolda Metro Jaya yang melarang provokasi mengarah kepada sentimen SARA. Adanya ujaran kebencian dan sentimen berbasis SARA yang berpotensi mengarah kepada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi sehingga sudah sepatutnya kepolisian melakukan tindakan tegas terhadap hal tersebut. Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian (hate speech) sudah seharusnya diterapkan ketika demonstrasi, tetapi bukan melarang keseluruhan demonstrasi.
LBH Jakarta juga mengingatkan bahwa dalam demonstrasi, justru aparat keamananlah yang sering melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Contoh nyata adalah tindakan pembubaran paksa demonstrasi buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 serta menangkap 23 aktivis buruh, 1 mahasiswa, dan dua pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta. Selain membubarkan paksa, kepolisian melakukan pemukulan kepada seluruh aktivis, termasuk 4 buruh perempuan, dan menghancurkan mobil sound serikat buruh. Padahal demonstrasi dilakukan dengan damai," kata Ghifari.
Berdasarkan hal tersebut, sambung Ghifari, LBH Jakarta mendesak Kapolda Metro Jaya untuk menarik kembali Makllumatnya No. Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan mengawal dengan baik setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat. "LBH Jakarta juga menghimbau agar setiap demonstrasi dilakukan dengan damai dan tidak ada ujaran kebencian terhadap etnis tertentu," tandasnya. *[Bilal/Syaf/voa-islam.com]