JAKARTA (voa-islam.com)--Di akhir Desember 2016, publik dikejutkan dengan tertangkapnya Bupati Klaten Sri Hartini oleh KPK. Politisi PDI P itu tertangkap menerima suap untuk pemberian posisi-posisi tertentu di Kabupaten Klaten. Pemberian ini berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan terkait pengisian organisasi dan tata kerja daerah yang diamanatkan PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah.
Tertangkapnya Bupati Klaten Sri Hartini dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK pun berupaya membongkar kasus jual beli jabatan di tingkat pemerintah daerah.
"Kasus itu diyakini tak hanya terjadi di Kabupaten Klaten, tapi meliputi daerah lain. Modusnya jual beli jabatan di setiap daerah rak jauh berbeda dengan yang dilakukan Bupati Klaten Sri Hartini, kata Ketua MAK UMT, Gufroni, SH.,MH dalam keterangan persnya, Jakarta, Jumat (21/1/2017).
Lanjut Ghufroni, sudah menjadi rahasia umum, bila pejabat yang ingin meraih promosi jabatan lebih tinggi harus menyetor sejumlah uang. Makin tinggi jabatan yang diinginkan, kian tinggi uang yang disetorkan kepada kepala daerah. Mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta bahkan ada yang miliaran rupiah.
Bagaimana dengan di Provinsi Banten, indikasi akan adanya praktik jual beli jabatan sudah mulai terdengar. Sebagai antisipasi atau pencegahan, Banten bersama 9 provinsi yakni Aceh, Papua, Papua Barat, Riau, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah. Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah yang menjadi prioritas pengawasan KPK untuk memperketat pengawasan terkait praktek jual beli jabatan.
"Tentu publik berharap praktik jual beli jabatan di Banten tidak terjadi lagi karena akan menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi," ungkapnya.
Beberapa informasi yang didapat, nampaknya sudah ada upaya-upaya ke arah terjadinya praktik jual beli jabatan termasuk titipan nama-nama pejabat yang terindikasi orang-orang yang dulu menjadi bagian dari rezim mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Publik pun meragukan komitmen PLT Gubernur Banten saat ini yang diduga memberi jalan akan terjadinya praktik jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten.
"Semoga saja informasi ini tidak benar adanya. Kita berharap sesungguhnya promosi dan mutasi jabatan hendaknya dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang rasional, proporsional, efektif dan efesien serta didukung oleh sumber daya manusia dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kompetensi yang dimiliki," jelas Ghufroni.
Melihat akan hal tersebut di atas, sambung Ghufroni, maka, Madrasah Anti Korupsi (MAK) UMT sebagai bagian dari civil society yang konsen terhadap isu-isu pemberantasan korupsi khususnya di Banten hendak menyampaikan sikap dan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan yaitu sebagai berikut.
"Pertama, mendorong KPK untuk mengawasi pelaksanaan promosi dan mutasi jabatan ASN di lingkungan Pemrov Banten secara lebih maksimal dan progresif," tuturnya.
Kedua, Kepada Plt Gubernur Banten hendaknya tidak melampaui apa yang menjadi kewenangannya dalam kaitan promosi dan mutasi jabatan ASN serta berkomitmen tidak akan menjadikannya sebagai ladang bisnis atau jual beli jabatan, tapi semata melaksanakan perintah UU secara profesional dan tanpa tekanan dari pihak manapun.
"Ketiga, Kepada pejabat yang terindikasi menjadi bagian dari rezim korup mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah tidak dimasukkan ke dalam daftar calon pejabat yang menerima promosi jabatan," katanya.
Keempat, Kepada masyarakat untuk turut serta mengawasi jalannya pelaksanaan promosi dan mutasi jabatan ASN utamanya dilingkungan Pemprov Banten dan melaporkannya ke KPK bila menemukan bukti adanya dugaan jual beli jabatan. * [Bilal/Syaf/voa-islam.com]