JAKARTA (voa-islam.com)- Dalam sejarah, sebelum berdirinya negara republik Indonesia dengan konstitusinya, kaum agamis dengan nasioanalis pada saat itu “meributkan” landasan hukum apa yang hendak digunakan agar negara berjalan sebagaimana mestinya. Mereka berdebat sehat.
Bahkan menurut salah satu pakar hukum tata negara, saat itu ada yang mengajukan nama negara berdasarkan agama dan lainnya. “Mereka ajukan alternatif Negara Republik Islam Indonesia atau Negara Republik Indonesia berdasarkan Islam.
Namun rancangan itu siap untuk dibahas dan mencari titik temu dengan semua kekuatan politik di Konstituante. Sayang Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kita kembali ke UUD 1945,” demikian kata Yusril Ihza Mahendra, melalui akun Twitter-(nya) dengan (hastag) #CatatanYusril, belum lama ini.
Menurut Yusril, modernisme Islam melihat bahwa masyarakat itu majemuk secara external maupun internal. Kemajemukan harus dihargai dan dihormati.
“Modernisme Islam menganggap Islam tidaklah membentuk sistem dalam bidang apapun. Islam memberi petunjuk, manusia berijtihad membangun sistem.”
Sebab itu sistem dianggap sebagai sesuatu yang fleksibel, tergantung pada kebutuhan zaman. Yang diajarkan Islam ada prinsip, penerapan diserahkan kepada ijtihad.
“Karena itu kaum modernis berpendapat bahwa tidak ada satu model negara yang diajarkan Islam. Model bisa beda, sepanjang prinsip diterapkan.” (Robi/voa-islam.com)