JAKARTA (voa-islam.com)- Pembubaran ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menuai controversial. Pemerintah dianggap terlalu gegabah dan terlalu terburu-buru mengambil langkah tersebut, salah satunya dinilai tidak dilakukannya kajian lebih dalam kepada ormas dakwah tersebut.
Selain itu, pemerintah juga dianggap tidak profesioanal di dalam menegakkan hukum karena ormas HTI diketahui memiliki badan hukum. Bahkan pemerintah nampak menyatakan bahwa HTI adalah “ancaman” bagi Indonesia tetapi tidak menunjukkan keingintahuan.
“Pemerintah wajib mencari tahu apa sebabnya, gerakan-gerakan keagamaan Islam di tanah air akhir-akhir ini menguat dan sebagian meninggalkan sikap moderat dan menempuh cara-cara radikal. Hal yang lazim terjadi adalah, radikalisme muncul karena suatu kelompok merasa dirinya diperlakukan tidak adil, termiskinkan dan terpinggirkan,” demikian kata pakar tata negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra, melalui siaran persnya yang didapat voa-islam.com, Senin (8/05/2017).
Seharusnya, menurut Yusril pemerintah dapat berlaku seimbang dengan ormas-ormas yang ada. Bukan hanya kepada ormas Islam kuat penglihatan tetapi ormas lain, bahkan ormas yang ditengarai berhaluan terlarang juga harus diperhatikan.
“Di kalangan umat Islam akan timbul kesan yang makin kuat bahwa Pemerintah tidak bersahabat dengan gerakan Islam, sementara memberi angin kepada kegiatan-kegiatan kelompok kiri, yang fahamnya nyata-nyata bertentangan dengan falsafah negara Pancasila.
Pemerintah harus bersikap proporsional memperlakukan semua komponen bangsa, sehingga semua golongan, semua komponen merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Yang lemah terlindungi dan yang yang kuat tercegah dari tindakan sewenang-wenang.” (Robi/voa-islam.com)