JAKARTA (voa-islam.com)- Sebuah alat bukti itu dapat dikatakan dengan sah apabila ditemukan dengan cara-cara yang benar.
“Alat bukti itu sangat penting. Dalam pembuktian perkara pidana, alat bukti itu tidak bisa diperoleh sembarangan. Jadi, kalaupun alat bukti itu benar bisa membuktikan sesuatu tetapi alat bukti itu diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, ya, tidak sah.
Dan betapapun benarnya mendukung suatu pembuktian tetap saja tidak dapat dijadikan alat bukti,” sampai Prof. Yusril Ihza Mahendra, Jum’at (16/06/2017), di Jakarta.
Yusril menyebut ini sebetulnya sudah cukup lama soal bagaimana mendapatkan alat bukti itu tetapi tetap dijadika alat bukti. “Sebetulnya cara (semacama) ini sudah lama diketahui pengacara pidana. Dan ini pernah menimpat Pak Setya Novanto saat disadap, yang sebetulnya penyadapan itu hanya bisa dilakukan oleh dan bisa dijadikan alat bukti perihal narkoba dan teroris.
Tapi pengaturannya pun mesti diketahui, siapa yang boleh melakukan itu (penyadapan),” katanya lagi.
Namun menurut Yusril, pada dasarnya di UU itu siapa saja bebas berkomunikasi dan penyadapan akan menjadi terlarang dengan ada satu ketentuan tertentu. Pun termasuk tidak bisa hanya kwitansi (curian) lalu dijadikan alat bukti oleh polisi karena alat buktu itu diperoleh dengan cara-cara tidak benar, sehingga tidak sah.
Misalnya saja ada kwitansi2 di rumah saya dijadikan sebuah alat bukti oleh polisi krn saya dituduh melakukan tindak pidana tapi alat bukti itu didapat dari hasil curian dari orang lain maka alat bukti itu tidak bisa dijadikan sebuah bukti. (Robi/voa-islam.com)