JAKARTA (voa-islam.com)- Indonesia diakui kini telah memiliki institusi politik yang lebih kokoh, walaupun masih sebatas demokrasi prosedural. Defisit demokrasi substansial syukurnya bisa ditambal dengan peran kekuatan civil society yang ditunjang oleh dahsyatnya pengaruh media sosial.
Setidaknya kehidupan politik tidak terbagi habis di antara partai politik. Krisis 1960-an dan 1998 lebih dipicu oleh persoalan internal.
Perekonomian Indonesia relatif lebih tahan banting menghadapi krisis global. Bahkan, beberapa kali krisis global berdampak positif bagi Indonesia, setidaknya tidak membuat perekonomin terpuruk atau mengalami kontraksi. Krisis finansial global tahun 2008, misalnya, membuat perekonomian dunia mengalami kontraksi, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan positif cukup tinggi, yaitu 4,6 persen.
Pembangunan membutuhkan harmoni atau keseimbangan agar kita tidak terlalu bergantung kepada pihak luar. “Kita perlu menjaga agar tidak mengalami triple deficits yang parah. Kita masih mengalami defisit anggaran dan saving-investment gap.
Semakin besar kedua defisit itu akan membuat defisit eksternal (current account deficit) membengkak. Akibatnya kita semakin bergantung pada ‘budi baik’ kekuatan luar,” demikian kata ekonom, Faisal Basri, melalui faisalbasri.com, kemarin (29/06/2017).
Cara paling ampuh untuk mengelola defisit anggaran pada tingkat yang favourable menurutnya adalah dengan meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio. Dalam jangka pendek dan menengah, rancangan undang-undang tentang perpajakan perlu segera dituntaskan untuk memaksimumkan momentum program amnesti pajak.
“Jantung perekonomian kita perkuat. Darah yang mengalir ke sekujur tumbuh perekonomian harus cukup dan lancar.” (Robi/voa-islam.com)