BANDUNG (voa-islam.com) - Perpu No.2/2017 tentang Perubahan UU No.17/2013 tentang Keormasan substansi pokoknya dinilai menghilangkan proses pengadilan dalam pembubaran suatu ormas. Proses inilah yang dianggap hambatan serius dalam pembubaran suatu ormas Islam bagi pemerintah.
Pakar Hukum UNPAD, Dr. Atip Latifatul Hayat, SH, LLM, Ph.D, mengatakan tidak banyak negara yang menggunakan instrumen hukum semacam Perpu dan Indonesia termasuk negara yang sedikit itu.
Penerbitan suatu Perpu seringkali memancing kontroversi, karena penerbitannya didasarkan kepada pertimbangan subjektif Presiden.
Dalam kasus Perpu tentang Keormasan ini, adakah kegentingan yang memaksa yang mendorong Presiden untuk mengeluarkan Perpu tersebut? Sudah sedemikian daruratkah negara oleh kehadiran ormas yang dinilai oleh pemerintah sebagai ancaman terhadap ideologi negara?
“Menurut saya, sama sekali tidak! Tapi, kembali kepada pertimbangan subjektif Presiden yang beranggapan bahwa idelogi negara terancam”, jelas Dr. Atip, rabu (12/07/2017).
Dr. Atip lanjutkan bahwasanya substansi utama Perpu Keormasan tersebut adalah menghilangkan proses pengadilan dalam pembubaran suatu ormas.
“Pemerintah menganggap proses pembubaran Ormas menurut UU No.17/2013 sangat panjang dan bahkan menurut Jaksa Agung sebagai hal yang mustahil untuk bisa dilakukan. Adalah hak subjektif Presiden untuk menilai situasi ini sebagai darurat, sehingga pasal-pasal proses pembubaran itu kemudian dicabut lewat Perpu”, paparnya.
Yang menjadi masalah seriusnya adalah tindakan Presiden yang dengan gampang menilai aturan hukum sebagai suatu hambatan yang bukannya dipatuhi, malahan dihilangkan lewat Perpu, secara langsung maupun tidak langsung mengisyaratkan pemerintah menuju tindakan sewenang-wenang yang membuka peluang hadirnya kediktatoran.
Ketika hukum dianggap sebagai penghalang dan bukannya sebagai rambu-rambu dalam bertindak dan kemudian dihapuskan lewat Perpu, ini lampu merah hadirnya kesewenang-wenangan.
“Apabila penerbitan Perpu ini tidak didasari dengan pertimbangan yang objektif, maka Perpu itu tidak lain adalah bentuk Constitutional Dictatorship (kediktatoran berbungkus konstitusi, red)”, ujar Dr. Atip seperti dilansir dari laman resmi Persis.
Meski dalam Perpu tersebut dimungkinkan untuk mengajukan tindakan pembubaran ormas oleh pemerintah itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN ), namun tetap tidak menghilangkan anasir-anasir kesewenang-wenangan di dalam Perpu tersebut, karena seharusnya pembubaran itu lewat pengadilan. Mengapa demikian, karena pendirian atau pembentukan ormas adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
“Jadi substansi Perpu tersebut potensial untuk melanggar HAM”, ujarnya.
Agar cara bernegara yang serampangan seperti ini tidak berlanjut, Dr. Atip menyarankan agar umat Islam terutama Ormas Islam medesak adanya uji materi ke MK.
“Sebaiknya ormas, khususnya ormas Islam harus melakukan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi”, pungkasnya. [syahid/voa-islam.com]